Membantu Orang Lain atau Membantu Diri Sendiri?

Author: Naufal Ridhwan Aly

Photo by Jackson David via unsplash.com

Jika kalian pernah menonton serial Avatar: The Legend of Aang, tentu kalian tidak asing dengan kalimat pembuka semua orang hidup damai hingga negara api menyerang. Meskipun tidak 100% tepat, kondisi ini juga dapat menggambarkan situasi kita sekarang dimana semenjak korona menyerang, kehidupan umat manusia di berbagai belahan dunia sedikit direpotkan, tidak terkecuali Indonesia yang oleh para politisi dianggap sebagai lelucon.

Manusia sebagai mahkluk sosial, tentu memiliki kepedulian sosial dengan merespons hal ini dengan tindakan sosial pula. Adler mendefinisikan kepedulian sosial sebagai sebuah sikap keterhubungan dengan kemanusiaan pada umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota komunitas (Marwing, 2016: 255). Menurut Adler, jika kita melakukan tindakan sosial dengan motif yang dipusatkan pada diri sendiri dan untuk keunggulan terhadap manusia lain, itu bukanlah kepedulian sosial sejati. Bisa saja, tindakan sosial itu sengaja dilakukan sebagai tanda posisi antara si pemberi dan yang diberi. Hasil donasi, apapun bentuknya, selalu menandakan “kamu lemah” dan “aku unggul”, hal ini menyebabkan kedermawanan menjadi bukti superioritas.

Dalam kepedulian sosial, affect yang muncul harus dihindari dan dilepaskan seperti adanya egoism psikologis yang bersifat patologis seperti perasaan superior maupun egoisme psikologis yang muncul dalam bentuk perasaan-perasaan positif seperti perasaan senang, puas, bahagia, tidak malu, tidak kecewa, tidak frustasi (Marwing, 2016: 262). manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga nilai moral yang dimiliki, sehingga memang sudah seharusnya egoisme psikologis tidak perlu muncul saat melakukan kepedulian sosial. Pertanyaan ini mungkin dapat membantu dalam memahami apa yang saya tulis di atas, juga bisa sebagai bahan refleksi kita bersma. Mengapa kebaikan perlu memberikan perasaan menyenangkan, sementara ia hal wajar yang sudah semestinya dilakukan?

Membantu sesama memang suatu tindakan terpuji. Namun, banyak orang lupa bahwa kata kunci dalam teori bantu membantu adalah ikhlas. Dalam Islam, ikhlas dapat diartikan dengan jujur, rela, kemurnian, kesucian, kebersihan atau ketauhidan. Maksudnya adalah perbuatan (amal) yang dilakukan dengan kejujuran, ketulusan, kerelaan dan kemurnian serta kebersihan hati karena Allah SWT tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti: keinginan untuk mendapatkan keistimewaan, posisi atau kedudukan atau dipuji dan lain sebagainya (Hasiah, 2013: 43).

Penjelasan di atas memang terdengar sangat klise, kita semua sudah tahu definisi ikhlas, kita sudah kenyang dengan pelajaran ketika duduk dibangku sekolah. Namun, untuk lebih dapat memahami maknanya, izinkan saya memberikan contoh dari sebuah buku berjudul Merasa Pintar, Bodoh saja tak Punya dari Rusdi Mathari.

Dalam bukunya itu, ikhlas di bahas dalam sebuah bab berjudul Belajar Ikhlas dari Berak dan Kecing. Cak Dlahom, tokoh utama dalam cerita ini mengingatkan Mat Piti yang sudah baik kepadanya untuk ikhlas saat membantunya. Mat Piti yang bingung, menanyakan lebih lanjut apa yang dimaksud oleh Cak Dlahom. Sesampainya di rumah Cak Dlahom, Mat Piti ditanya oleh Cak Dlahom apa saja yang makanan yang diberikan padanya hari ini. Mat Piti dapat menjawab dengan lancar pertanyaan Cak Dlahom, bahkan Mat Piti pun masih ingat pemberian peci yang sudah sebulan lamanya. Namun, saat ditanya tentang aktivitas berak dan kecingnya, Mat Piti kesulitan menjawab karena sudah lupa. Begitulah ikhlas yang dimaksud oleh Cak Dlahom, tidak perlu diingat-ingat. Setelah beramal, lupakan, jika kita memang mengharap rida Allah SWT. Dalam maksud yang lebih luas yakni sisi spiritual kita.

Seorang dokter yang viral belakangan ini, tentu tidak memenuhi kualifikasi ikhlas menurut tokoh Cak Dlahom dalam imaji Rusdi Mathari. Dalam cuitannya di Twitter, ia sangat gamblang menjelaskan apa yang telah ia lakukan untuk membantu orang lain sebagai ‘kepedulian sosialnya’. Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, ia pun lancar menyebutkan apa kontribusi yang telah dilakukan bersama teman-temannya.

Ya, mungkin kalian akan berkata “tapi dengan ia memberitahukan ‘hal baik’ yang ia lakukan di media sosial akan menginfluence orang lain untuk berbuat hal yang sama, atau mungkin untuk transparansi atas galang donasi yang telah ia lakukan?”. Mungkin benar, mungkin salah, saya pun tidak berani menyimpulkan, di awal saya juga menyebutkan bahwa itu menurut Cak Dlahom, tokoh rekaan Rusdi Mathari. Namun, apakah kalian pikir seseorang yang ditandai dalam suatu status temannya karena ada namanya di poster penggalangan dana secara terus menerus dalam sehari, bahkan hitungan jam memang benar untuk tujuan publikasi? Bukankah cukup hanya sekali dengan dirinya sendiri tanpa me-resnap instastory orang lain? Atau memang itu tujuannya agar mendapatkan pengakuan dari orang lain? Kalian sendiri yang dapat menyimpulkan

Kalian sekarang berpikir “dasar sampah, bisanya cuma nyinyir doang. Mending dia ngelakuin aksi, kamu uda ngelakuin apa emang?”

Sudahlah, kita ini manusia dan cuma mahkluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa — khusus yang masih percaya akan Tuhan. Mengapa tidak mengakui saja kalau kita ini memang mahkluk terbatas yang kadang melakukan sesuatu atas dasar motif pribadi? Tidak mengapa jika kamu hanya bisa rebahan dan berdiam diri di rumah. Hal yang diremehkan oleh kebanyakan orang itu sekarang adalah hal paling mudah untuk ikut peduli terhadap orang lain, dan, yang terpenting, kita ikhlas melakukan semua hal tersebut.

Referensi

  • Marwing, Arman. (2016). Kritik Kepedulian Sosial Adler dan Ikhlas Terhadap Perilaku Pro-Sosial Manusia Modern. Kontemplasi Vol. 04 No. 02, 253–276.
  • Hasiah. (2013). Peranan Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an’. Darul Ilmi, Vol. 01 No.02, 21–44.