Author: Intan Nisaaul Chusna
Pada 12 Maret 2020, wabah COVID-19 mulai berstatus pandemi. Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mencatat, pandemi merupakan epidemi yang menyebar ke beberapa negara atau benua dan mempengaruhi masyrakat dalam jumlah besar. Setelah dikeluarkannya status pandemi pada COVID-19, maka World Health Organization (WHO) mengimbau setiap negara yang terdampak — tidak terkecuali Indonesia — untuk fokus mendeteksi, merawat, mengisolasi, melacak, dan memobilisasi masyarakat. Pernyataan WHO tersebut juga diperkuat oleh ahli epidemilogi Harvard Institute, Marc Lipstich. terkait status pandemi ini yang menyatakan bahwa dalam menghadapi status COVID-19 yang pandemi berarti tidak hanya fokus pada penahanan, tetapi harus semakin fokus pada mitigasi penyebaran virus ini.
Bagaimana respons Indonesia dalam merespon pernyataan WHO dan ahli epidemilogi Harvard Institute? Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara Indonesia di awal status pandemi menghimbau masyarakat untuk social distancing, Work from Home (WFH) yang perusahaannya memberikan izin untuk berlakunya WFH bagi tenaga kerjanya. Tujuan dari himbauan tersebut adalah guna menekan mata rantau penyebaran COVID-19. Namun, setelah program WFH dan beberapa stimulus lainnya berjalan, wabah COVID-19 menunjukkan efek pada kehidupan masyarakat selain dari sisi kesehatan, yaitu perekonomian mulai lesu. Kementerian Ketenagakerjaan (2020) mencatat jumlah pekerja formal dan informal yang dirumahkan dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per 7 April 2020 mencapai 1,2 juta orang. Hal tersebut tentu menyebabkan tidak ada satupun pihak yang bisa disalahkan antara pengusaha dan karyawannya, mengingat situasi perekonomian di beberapa negara terdampak COVID-19 memang sedang menurun.
Pandemi COVID-19 menyebabkan perekonomian global tumbuh menjadi negatif, bahkan IMF (Dana Moneter Internasional) memperingatkan situasi perekonomian akan lebih buruk dari peristiwa Great Depression pada 1930-an. The Economist Intelligent Unit (EIU) memprediksi negara negara maju dan berkembang yang tergabung dalam G20 akan mengalami resesi pada 2020.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan bahwa empat dari lima pekerja di dunia terdampak pandemi COVID-19. Sebanyak 81% dari 3,3 miliar orang mengalami penutupan tempat kerja secara penuh atau sebagian. Sementara di Indonesia sebanyak 10,6% kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4% lainnya dirumahkan (Kementerian Ketenagakerjaan, 2020). Sektor-sektor yang terdampak termasuk akomodasi, jasa makanan, perdagangan retail dan besar, manufaktur, serta properti. Merespons permasalahan ketenagakerjaan tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan telah meminta pelaku usaha agar PHK menjadi opsi terakhir bagi perusahaan. Para pengusaha diminta untuk terlebih dahulu mengurangi upah dan fasilitas bagi pekerja tingkat atas, mengurangi shift kerja, menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir.
Apa saran atau solusi dari permasalahan yang terjadi? Pemerintah Republik Indonesia dapat belajar dari pernyataan IMF yang khawatir akan terjadinya depresi besar perekonomian seperti di tahun 1930. Depresi besar dapat terhindar jika pemerintah dapat memberikan dukungan yang tepat bagi dunia ekonomi. Beragam stimulus perekonomian harus benar-benar diperhitungkan dengan segala risiko yang ada. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bermain-main dengan kebijakan fiskal dan moneter. Bukan hanya pemerintah Indonesia saja yang saat ini sedang diuji, namun hampir seluruh pemerintah negara di dunia sedang diuji untuk memberikan solusi yang tepat di tengah lesunya perekonomian.
Referensi
- https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/bermasalah-terkait-pekerjaan-karena-pandemi-covid-19/
- https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/160158/kata-menteri-ketenagakerjaan-tentang-dampak-covid-19-terhadap-buruh
- https://katadata.co.id/berita/2020/04/14/ekonomi-di-tengah-pandemi-apakah-akan-terjadi-lagi-depresi-besar