Author: Kunthi Jihan Febriningtyas
Isu kesehatan akhir-akhir menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan akibat mewabahnya virus COVID-19. Virus yang mewabah sejak awal 2020 tersebut memiliki tingkat kematian rerata 2–3% dengan penularan amat cepat — di mana jumlah penderitanya telah menembus 2,7 juta orang hanya dalam waktu empat bulan. Dari berbagai pembicaraan dan pemberitaan yang banyak tersebar di media, timbul berbagai pertanyaan pelik: langkah apa yang lebih baik untuk diambil? Kebijakan apa yang memang benar-benar tepat untuk diberlakukan? Semua pertanyaan tersebut seolah berkejaran dengan waktu, menunggu jawaban rasional dan konkret agar dampak akibat pandemi COVID-19 di Indonesia segera teratasi.
Pemerintah mengatakan akan memfokuskan pada tingkat kesehatan masyarakat namun faktanya satu per satu masyarakat merenggut nyawa setiap harinya — bukan karena terpapar virus ini, namun lambung yang tak kunjung diisi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan presentase penduduk miskin pada maret 2019 sebesar 9,41% menurun 0,25% terhadap september 2018. Lantas mengapa keluhan masih banyak dilontarakan oleh mereka yang katanya hidup di atas garis kemiskinan? Bagaimana standar kemiskinan yang dinyatakan pemerintah? Menurut pemerintah, standar kemiskinan seseorang adalah ketika memiliki pendapatan Rp425.250 per kapita per bulan. Lantas, bagaimana mereka yang memiliki pendapatan di atas standar namun memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar?
Dampak COVID-19 terlihat nyata pada berbagai sektor, di mana terjadi PHK besar-besaran dan segala sektor mulai diberhentikan; pendidikan, pembangunan dan perdagangan. Akibatnya, muncul persoalan baru: dari mana tenaga kerja di sektor-sektor tersebut memperoleh penghasilan? Masyarakat dipaksa bungkam menurut kepada pemilik modal. Hambatan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat tak hanya terhentinya pemasukan; kian naiknya harga bahan pokok juga semakin menghimpit kehidupan rakyat. Rakyat semakin jauh dari kecukupan pangan, aksesibilitas terhadap sektor strategis, keterjangkauan, dan kecukupan gizi. Belum lagi, lilitan utang yang membuat leher mereka semakin tercekik.
Kementerian sosial mencanangkan 60 triliun rupiah dana bantuan yang dinyatakan cukup untuk membantu masyarakat menengah ke bawah. Lagi lagi bantuan tersebut seakan hanya sebagai embel-embel “judul utama” berita yang hanya muncul dan berlalu begitu saja. Lantas, ke mana aliran dana pusat yang harusnya sampai pada tangan-tangan yang telah ditekan oleh kehidupan? Agaknya, selain akibat COVID-19 itu sendiri, masyarakat lapisan menengah ke bawah telah lama menderita akibat kesulitan ekonomi — menuntut direalisasikannya solusi nyata dari pihak terkait.
Pemerintah menuntut kedisiplinan sebagai kunci keberhasilan Untuk mengatasi wabah ini; di mana diperlukan “nakhoda” agar negara tidak tumbang akibat menghadapi berbagai dilema terkait pandemi ini. Lantas sektor mana yang harus diprioritaskan kesehatan masyarakat atau ekonomi masyarakat? Upaya pemberian bantuan seakan hanya dijamah oleh kalangan menengah ke bawah pada daerah tertentu saja. Padahal sudah tidak ada aliran dana yang masuk pada kantung-kantung segelintir yang lain pula. Masyarakat meminta dan pemerintah memberi harapan, di mana ekspektasi tinggi mereka harus segera terpenuhui secara cepat dan tepat. Kecemburuan kian menjadi saat media menyebar berita bantuan langsung tunai, bantuan sembako bahkan bantuan makanan yang diharap mereka setiap harinya. Kepedulian antarmasyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah ini meringankan beban mereka yang terimpit dan tertekan kehidupan. Bahu-membahu atas rasa kemanusiaan menjadi modal berharga. Menipis masa kelam membawa terang bagi mereka yang membutuhkan.
Kebijakan terkait kesehatan harus diberlakukan, namun gesekan antar kelembagaan dalam sektor ekonomi harus dihindari, karena keduanya saling berhubungan. Pemerintah perlu menggarap secara matang agar tidak menimbulkan kepanikan, di mana kehatian-hatian namun tetap tanggap sangat diperlukan dalam mengatasi dampak COVID-19. Di sisi lain, masyarakat perlu bersabar; menunggu hasil kerja pemerintah dalam pendataan bantuan yang akan diberikan kepada mereka. Tak hanya itu, diperlukan sinergi yang baik antara rakyat dan pemerintah untuk menjamin teratasinya pandemi ini. Sinergi tersebut tak hanya diarahkan oleh kedua pihak guna mengatasi dampak sektoral, melainkan untuk mencegah kemunculan persoalan dan dilema baru.
Referensi
- Badan Pusat Statistik. Diakses 24 April 2020. https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/07/15/1629/persentase-penduduk-miskin-maret-2019-sebesar-9-41-persen.html.
- Parlementaria Terkini—Dewan Perwakilan Rakyat. Diakses 24 April 2020. http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/26409/t/Legislator+Ajak+Semua+Pihak+Kurangi+Angka+Kemiskinan.