Author: Alfin Febrian Basundoro
Sahel merupakan wilayah yang memanjang dari Mauritania di Afrika Barat hingga Eritrea di pantai Laut Merah, Afrika Timur. Wilayah ini memiliki fungsi sebagai penyangga klimatik antara Gurun Pasir Sahara yang beriklim arid (kering) dengan wilayah bagian selatan yang lebih subur. Tak hanya itu, Sahel juga menjadi transisi vegetasi—antara vegetasi gurun dengan sabana (WWF, 2009). Alhasil, Sahel pula memiliki iklim transisional— antara iklim gurun dan tropis kering; di mana kondisi tersebut menyebabkan curah hujan relatif rendah dan tidak merata, namun dengan variasi temperatur tak seekstrem Gurun Sahara. Akibatnya, pertanian menjadi sektor yang kurang berkembang di kawasan ini.
Diuntungkan dengan vegetasi padang ilalang dan semak belukar, mayoritas penduduk Sahel merupakan masyarakat tradisional yang bekerja sebagai penggembala ternak. Meskipun terhambat oleh kondisi iklim dan kesuburan tanah, beberapa di antara mereka juga bertani secara subsisten— memanfaatkan curah hujan yang pendek (World Economic Forum, 2019). Agaknya, desertifikasi dalam dasawarsa terakhir menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat Sahel — khususnya di kawasan barat, di mana hujan semakin jarang turun dan tanah semakin mengering. Akibatnya, padang rumput sebagai lokasi penggembalaan dan lahan pertanian rusak, sementara angin kering yang disebut dengan “mangkuk debu” (dust bowl) semakin kerap terjadi. Tercatat, laju desertifikasi belakangan mencapai 200.000 hektare setiap tahunnya (National Geographic, 2017).
Perubahan iklim yang disertai dengan pemanasan global menjadi ancaman nyata bagi wilayah Sahel. Krisis pangan akibat kekeringan agaknya mulai mendera masyarakat Sahel manakala tidak diadakan usaha serius untuk mengatasi ancaman tersebut. Hal lain yang cukup mengkhawatirkan, adalah bahwa populasi tersebut tak hanya tersebar di padang terbuka dan pedesaan, melainkan juga kota-kota besar seperti Niamey (ibu kota Niger) dan Bamako (ibu kota Mali). Sektor pemerintahan dan ekonomi dapat runtuh apabila kekeringan dan desertifikasi terus terjadi—seiring dengan kerentanan pangan di kawasan ini. Beruntung, sebuah solusi yang cukup berkelanjutan—bernama “Tembok Hijau Sahel”— telah dimulai pada 2007 dan melibatkan lebih dari 11 negara. Negara-negara yang terlibat dalam proyek ini pula membentuk Lembaga Tembok Hijau Sahel yang bertugas melaksanakan proyek tersebut.
Terinspirasi dari usaha Tiongkok menghambat desertifikasi di Gurun Gobi, Tembok Hijau Sahel sendiri merupakan sabuk vegetasi yang membentang sepanjang 8.000 kilometer dengan lebar 15 hingga 20 kilometer. Jenis vegetasi yang ditanam merupakan vegetasi dengan ketahanan tinggi terhadap kekeringan dan suhu tinggi, serta mampu menciptakan tampungan air hujan seefisien mungkin (Puiu, 2019). Tak hanya negara, lebih dari 20 organisasi nonpemerintah (NGO) dan organisasi internasional turut menyukseskan proyek ini. Anggaran proyek ini mencapai US$8 miliar dengan tujuan ambisius — mengembalikan kesuburan lahan, vegetasi, dan menghambat desertifikasi di kawasan ini.
Sektor sosial-ekonomi juga mendapat dampak positif, di mana vegetasi yang terbentuk akibat Tembok Hijau Sahel akan menciptakan rumah bagi puluhan ribu penduduk setiap tahun (Morrison, 2016). Dampaknya, sektor pertanian dan penggembalaan yang menjadi andalan masyarakat setempat juga mengalami peningkatan. Lebih dari 100 juta hektare lahan kritis — akibat desertifikasi — akan dikembalikan kesuburannya dan ditargetkan mampu menyokong kehidupan lebih kurang 200 juta masyarakat Sahel pada 2030 (Tate, 2019). Optimisme tersebut juga mendorong Bank Dunia memberikan pinjaman guna meningkatkan anggaran proyek ini hingga sepuluh tahun ke depan. Meskipun begitu, hingga kini belum ada nilai spesifik berapa dampak ekonomi yang dirasakan oleh Sahel setelah proyek tersebut dilaksanakan.
Meskipun begitu, agaknya terdapat beberapa masalah yang mengganjal optimisme proyek ini. Pertama, dengan target penyelesaian pada 2030 dengan pemulihan 100 juta hektare lahan, progres Tembok Hijau Sahel mengalami perlambatan. Hingga 2017 — sepuluh tahun setelah proyek ini dimulai — lahan yang tertanami baru mencapai 15 juta hektare. Padahal, anggaran yang dikucurkan tak kurang dari US$8 miliar dengan tambahan insentif dari sejumlah organisasi internasional (Tate, 2019). Selain itu, penanaman masih berfokus di wilayah barat seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger; sementara kawasan tengah Sahel seperti Chad dan Sudan masih belum tersentuh.
Kedua, adalah kurangnya komitmen negara-negara dalam melaksanakan proyek ini. Sekalipun 11 negara telah menandatangani proposal Tembok Hijau Sahel, tidak semuanya memiliki komitmen untuk berprogres dalam penyelesaian proyek ini. Senegal misalnya, menjadi negara yang cukup progresif dengan menanam lebih dari lima juta pohon pada 2016 hingga 2018. Di sisi lain, terdapat spekulasi penggelapan anggaran Tembok Hijau Sahel — didukung oleh lambatnya progres penyelesaian proyek ini. Terlebih, negara-negara di kawasan Sahel merupakan negara miskin yang cenderung memprioritaskan anggaran negara untuk kebutuhan nasional, alih-alih membiayai proyek yang terkesan “buang-buang anggaran”. Ditambah, kurangnya transparansi dalam proyek ini menjadi masalah lainnya.
Ketiga, adalah isu keamanan yang mendera sejumlah negara di kawasan ini, terutama dengan kebangkitan sejumlah kelompok teror. Pemberontakan Boko Haram di Nigeria, ISIS di Mali, serta Al-Qaeda di Niger tentu saja mengganggu progres proyek ini. Apalagi, kelompok-kelompok teror tersebut kerap menyasar orang-orang asing yang banyak pula terlibat dalam pelaksanaan proyek ini. Berkaitan pula dengan faktor kedua, bahwa peningkatan ancaman keamanan akan membuat negara-negara Sahel cenderung fokus menyelesaikan isu keamanan ketimbang melanjutkan proyek ini.
Dengan sederet permasalahan di atas, bagaimana proyek Tembok Hijau Sahel akan berlanjut? Akankah proyek ambisius ini berdampak positif bagi masyarakat di kawasan tersebut? Mampukah Tembok Hijau Sahel mengatasi aneka permasalahan ekologis yang terus terjadi — seiring dengan desertifikasi dan pemanasan global?
Referensi
- Morrison, Jim. “The ‘Great Green Wall’ Didn’t Stop Desertification, but It Evolved Into Something That Might.” Smithsonian Magazine. Diakses 10 Mei 2020. https://www.smithsonianmag.com/science-nature/great-green-wall-stop-desertification-not-so-much-180960171/.
- World Wildlife Fund. “Sahelian Acacia Savanna | Ecoregions | WWF.” Diakses 10 Mei 2020. https://www.worldwildlife.org/ecoregions/at0713.
- “The Great Green Wall: A Wondrous Failure — The Emerald Review.” Diakses 10 Mei 2020. http://emeraldreview.com/the-great-green-wall-a-wondrous-failure/.
- “The Sahel, desertification beyond drought | We Are Water.” Diakses 10 Mei 2020. https://www.wearewater.org/en/the-sahel-desertification-beyond-drought_318262.
- “The Sahel: Key things to know as security crisis spirals.” Diakses 10 Mei 2020. https://www.aljazeera.com/indepth/features/sahel-key-security-crisis-spirals-200121094444460.html.