Menyimak Interaksi Robot-Manusia dalam Serial Kamen Rider Zero-One

Author: Syibly Adam Firmanda

Ilustrasi interaksi manusia-robot dari serial Kamen Rider

Bayangkan sebuah kehidupan dimana manusia bisa hidup berdampingan dengan para robot. Robot tak lagi dianggap sebagai alat, ia juga dapat menjadi teman yang baik bagi manusia. Robot tidak lagi hanya mesin berdaya guna, tapi mereka bisa merasakan kehidupan; mereka mampu merasakan sakit, tertawa bahagia, gairah, hingga berimpian. Terdengar utopis? Setidaknya itu yang diimajinasikan dalam Kamen Rider Zero-One, sekaligus menjadi bahasan utama dalam tulisan ini.

Kamen Rider Zero-One adalah serial tokusatsu dari Jepang yang termasuk dalam franchise Kamen Rider sekaligus menjadi pembuka dari era reiwa, zaman baru di jepang yang ditandai dengan turunnya takhta kaisar Jepang. Premis dari Zero-one ini sendiri sangat menarik, bercerita tentang Hiden Intelligence, sebuah perusahaan teknologi paling berkembang di Jepang yang berspesialisasi dalam artificial intelligence (AI), telah mengembangkan cara untuk memanfaatkan AI dalam bentuk humanoid, yang dikenal sebagai Humagear, humanoid yang hampir identik ini telah menjadi kebutuhan pokok dalam membantu kehidupan sehari-hari, baik untuk masyarakat umum maupun sektor mikro dan makro. Para Humagear memiliki bentuk yang persis dengan manusia tapi mereka memiliki telinga robotik sebagai penanda bahwa mereka bukan manusia.

Perusahaan ini awalnya dipimpin oleh Korenosuke Hiden. Namun, karena meninggal dunia, dirinya mewariskan Hiden Intelligence ke cucunya, Aruto Hiden. Aruto yang hanya berprofesi sebagai stand up comedian, awalnya menolak dan memilih mengikuti impiannya. Namun karena wasiat dari kakeknya adalah untuk menjaga apabila ‘krisis’ akan datang yang melibatkan Humagears terjadi. Sebelumnya, sekitar 12 tahun lalu dimana terjadi ledakan besar-besaran yang disebut melibatkan Humagear-humagear yang memberontak yang dikenal dengan tragedi daybreak. Dan benar, terdapat sekelompok teroris yang menamakan diri sebagai MetsubouJinrai.net. Mereka melakukan peretasan terhadap Humagear. Dengan bantuan Artificial Intelligence Military Service (A.I.M.S.), Aruto bertempur melawan mereka dan mengembalikan humagear yang telah diretas.

Mungkin sudah dulu dongengnya, lantas bagaimana sebenarnya interaksi manusia dan A.I. (dalam hal ini robot) di kehidupan nyata? Human-robot interaction (HRI) mampu menjawabnya. HRI merupakan studi untuk mempelajari fungsi dan kegunaan robot ketika melaksanakan tugas yang melibatkan manusia, termasuk bagaimana pola interaksi antara manusia dan robot (De Santis dkk, 2008). Meskipun pengembangan teknologi robot sendiri baru berkembang pada pertengahan dan akhir abad ke-20, penting untuk dicatat bahwa gagasan mengenai robot-like behavior beserta implikasinya dan interaksinya terhadap manusia telah ada selama berabad-abad dalam agama, mitologi, filsafat, dan fiksi sepanjang sejarah. Sebagai contoh, Leonardo da Vinci sudah melukis sketsa seorang manusia mekanik sekitar tahun 1495. Bahkan dalam literatur cina kuno menyebutkan adanya kreasi yang serupa dengan robot, seperti kisah dalam Dinasti Zhou Barat (1066BC-771BC) yang menggambarkan bagaimana pengrajin Yanshi menyajikan humanoid sebagaimana dilansir dari media daring Tiongkok, Vision Times.

Fokus studi dalam HRI adalah untuk memahami dan membentuk interaksi antara manusia dengan robot. Interaksi antara manusia dan robot secara inheren terjadi pada semua robot, bahkan untuk robot yang otonom. Seberapa besar independensi robot, mereka masih akan digunakan dan bekerja untuk manusia. Akibatnya, komponen penting dari HRI membutuhkan evaluasi kemampuan baik manusia dan robot serta perancangan teknologi dan pelatihan yang menghasilkan interaksi yang diharapkan. Pekerjaan semacam itu pada dasarnya bersifat interdisipliner, membutuhkan kontribusi dari berbagai macam disiplin ilmu seperti cognitive sciences, linguistik, sosiologi, psikologi, teknik, matematika, bahkan hingga penguaasan big data dan human factors engineering.

Bicara perihal interaksi robot dan manusia, tentunya tidak lepas dari salah satu faktor utamanya yaitu autonomy atau sifat otonom, yang juga tidak terlepas dari autonomy milik manusia. Dalam aliran Psikologi Behavioris, manusia tidak bertindak atas kehendak bebasnya atau free will seperti yang dikemukakan Immanuel Kant, melainkan perilaku mereka adalah respons pada rangsangan di lingkungan — lain halnya dengan psikologi perkembangan yang mengaitkan autonomy dalam perkembangan anak seperti self-control, governing dan confident. Namun, definisi autonomy yang dialami manusia dengan robot berbeda, autonomy dalam robot atau artificial autonomy diartikan sebagai sejauh mana suatu sistem dapat melakukan proses dan operasinya sendiri tanpa adanya kontrol atau intervensi manusia. Meskipun demikian, adapula robot yang tidak memiliki autonomy sama sekali melainkan dikontrol secara penuh oleh manusia dengan remote control.

Dalam HRI, Terdapat dua pendapat terkemuka mengenai autonomy, bahwa autonomy membutuhkan HRI yang rendah dan yang berpendapat bahwa frekuensi HRI harus lebih tinggi. Terlepas dari keduanya, human-robot interaction tidak akan bisa dipelajari tanpa adanya artificial autonomy dari robot, karena itu menjadi faktor penentu berkaitan dengan tugas yang dapat dilakukan robot, dan tingkat di mana interaksi tersebut berlangsung (Thrun, 2004).

Sebuah Humagear dalam serial Zero-One dapat memiliki sifat otonom ketika mencapai titik puncak yang disebut singularity, maka sistemnya akan semakin mendekati sifat manusia. Namun bila mereka diretas oleh Metsuboujinrai.net, mereka akan kehilangan kesadaran dan mengamuk. Singularity dalam Zero-One berlandas pada gagasan bahwa semakin tinggi tingkat interaksi manusia dengan robot, akan semakin tinggi pula autonomy-nya. Artinya ketika mencapai titik ini, sebuah humagear telah mencapai titik bebasnya dan dapat berkembang lebih optimal.

Para humagear dalam Zero-One memang di-design secara khusus sesuai dengan tugas dan pekerjaan yang telah diatur dalam sistem. Misal, humagear tipe chef atau pemadam kebakaran, selain kemampuan mengakses data yang tidak terbatas, mereka juga dilengkapi dengan robot learning, yaitu kemampuan memperoleh keterampilan baru atau beradaptasi dengan lingkungannya melalui algoritma pembelajaran bersama manusia atau yang telah terprogram sebelumnya. Mereka bisa belajar skills yang tidak terhitung dalam sistem dan mempelajari bagaimana manusia mengerjakan tugas. Seperti yang dikemukan Maya Cakmak dengan teknik yang disebut dengan “programming by demonstration” dimana robot dibuat dengan cara mengimitasi yang dilakukan oleh manusia (Rosenblum, 2017).

Meskipun banyak faktor HRI yang terlihat dalam Zero-One, namun tetap saja terdapat aspek yang tidak masuk akal, seperti bagaimana humagear bisa memiliki emosi. Dalam ceritanya, digambarkan dengan semakin banyak berinteraksi dan belajar kepada manusia, humagear dapat mengekspresikan reaksi, kegembiraan, sentimen, dan lain-lainnya seperti halnya manusia. Jika dilihat dari pengembangan teknologi saat ini, hal yang paling mungkin adalah menerapkan pembelajaran robot disamakan seperti anak manusia (Lim, 2017), atau kurang lebih sama dengan yang dilakukan psikolog perkembangan dalam melakukan asesmen pada anak-anak.

Selain itu masih banyak isu-isu HRI yang menarik untuk disimak dalam Zero-One, seperti prejudice masyarakat pada penggunaan humagear, built in chip pada manusia, perbudakan robot hingga lawan bisnis Aruto, sebuah perusahaan multinasional ZAIA, yang mengembangkan aksesoris kacamata yang telah dilengkapi artificial intelligence. Daripada penasaran langsung yuk nonton Kamen Rider Zero-One! Episodenya masih berjalan dan sedang seru-serunya nih.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.