Author: Mohammad Rachmat Ramdhani
Saat ini telah banyak dilakukan penyelidikan secara tidak berkesudahan akibat pandemi Covid-19. Permasalahan yang timbul mulai dari pengecekan fakta, berita palsu, polarisasi, ketidakpercayaan sains di masa krisis baik sekarang dan di masa depan, serta peran media sosial selama masa pandemi; kepemimpinan dan tanggung jawab: hubungan antara politisi dan ilmuwan selama krisis kesehatan masyarakat, kepercayaan publik terhadap politisi; kolaborasi kesehatan masyarakat antara negara, di dalam UE dan WHO di dunia yang terglobalisasi; dampak ekonomi dan bisnis: kehilangan pendapatan, lapangan kerja, ekonomi yang menyusut dan hilangnya kepercayaan pasar.
Tak hanya itu, paket penyelamatan dan efektivitasnya serta dampak terhadap berbagai sektor ekonomi juga tak luput dari bahasan, terutama pertimbangan psikologis seperti respons individu dan kolektif terhadap krisis: altruisme, egoisme, dan mengatasi diri sendiri. Juga, peran teknologi untuk memfasilitasi komunikasi selama penguncian dan digunakan untuk pendistribusian informasi kesehatan masyarakat berupa himbauan berbentuk teks yang didistribusikan pemerintah, atau fitur ‘stay home’ pada media sosial seperti Instagram. Pertimbangan lainnya adalah pada sektor pendidikan: dampak sekolah tertutup, ujian yang dibatalkan, pengajaran dan penilaian online; membangun praktik terbaik baru.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suasana menegangkan yang terjadi dalam kurun waktu terakhir. Objek yang berbeda dari pembahasan yang bukan hanya menekankan Covid-19 sebagai isu kesehatan secara formal tetapi juga masalah tata kelola, ketertiban umum, dan ekonomi. Situasi ini mendesak seluruh pembuat kebijakan beserta para pakar di dunia bahu membahu untuk membuat pikiran alternatif menanggapi pandemi Covid-19. Lantas apa yang menjadi pikiran alternatif dunia saat ini? Tata bahasa baru yang menjadi pikiran alternatif yang dimunculkan dunia saat ini — ialah konsep “New Normal” yang mengisyaratkan tentang seperangkat norma kontak sosial baru, seperti menjaga jarak satu setengah meter dari semua orang asing di ruang publik setiap saat. Konsep ini tampaknya juga seperti menyiratkan penerimaan (baru) situasi tertentu yang baru. Suatu situasi yang pada saat yang sama dimaksudkan untuk diciptakan oleh norma kontak sosial yang baru. Sebuah aturan baru yang dimaksudkan untuk mengatasi kenyataan baru.
Mari kita uji konsep tersebut sebagai metode dalam menghadapi krisis. Bisakah demikian atau malah menjadi kekacauan berikutnya? Bila kita menelusuri terlebih dahulu kemunculan kata “New Normal” menjadi sebuah konsep dalam cakrawala ilmiah — diucapkan oleh satu artikel ekonomi yang ditulis oleh Rich Miller dan Matthew Benjamin yang berjudul “Post-Subprime Economy Means Subpar Growth as New Normal in U.S.” dalam Bloomberg pada 18 Mei 2008. Sedangkan konsep “New Normal” dalam konteks pandemi Covid-19 pertama kali disuarakan oleh ikatan dokter University of Kansas. Mereka menyatakan bahwa New Normal akan membatasi kontak fisik manusia yang sebelumnya adalah aktivitas biasa seperti berjabat tangan dan berpelukan.
Menyadari hal ini dalam semangat keingintahuan yang sama, kita semua hampir memiliki pemahaman intuitif yang cukup baik tentang apa yang dimaksudkan dalam konsep tersebut, tetapi hal itu menimbulkan beberapa pertanyaan filosofis. Terlepas mengenai konsepnya yang mengimplikasi dan diharuskan konsisten. Idenya sendiri bagaimanapun bisa dikatakan pragmatis. Beberapa pertanyaan filosofis sosial yang dapat diajukan, seperti apakah “new normal” adalah konsep progresif, yang menentang konservasi status quo, kehidupan lama? Bisakah kita menggunakan situasi krisis pandemi ini sebagai dorongan kuat untuk mengubah masa depan kearah yang lebih baik dan bersih? Ini sangat sulit untuk diyakinkan.
Untuk menjelaskan aforisme diatas dengan mempertimbangkan argumen yang dibuat oleh Novri Susan, Ph.D. dari Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga (2020), menyatakan bahwa “New Normal” adalah proses konstruksi sosial, proses yang tak terelakkan untuk menciptakan katup penyelamat. Namun, dalam hal ini pengembangannya masih berlangsung secara dialektis. Karena sepertinya tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti seperti apa keberlangsungan “New Normal” ini dapat tercapai. Perihal ini menyiratkan bahwa hal itu akan ditentukan oleh kendala yang ditimbulkan oleh masa pandemi daripada prediksi dan abstraksi yang kita buat.
Kenyataanya bahwa dalam parole masyarakat kita, New Normal adalah sebuah kebebasan baru setelah masa karantina dengan hanya mengikuti beberapa protokol kesehatan teknis, menunjukkan bahwa kegagalan kognitif masyarakat luas untuk mencerna wacana filosofis dari new normal tersebut. Selain itu, juga pemerintah wilayah setempat harus menunjukkan bahwa bukti penularan Covid-19 dapat dikendalikan, negara yang ingin menjalankan skenario New Normal harus dipastikan sanggup melakukan tindakan seperti mendeteksi, mengisolasi, memeriksa, melacak orang-orang yang kemungkinan berhubungan dengan pasien; menekan penyebaran di lingkungan berisiko tinggi seperti rumah-rumah lansia hingga tempat-tempat berkerumun; mengukur sistem pencegahan di tempat-tempat kerja; menangani penularan kasus impor; hingga melibatkan aspirasi komunitas dan warga dalam transisi menuju New Normal.
Referensi
- Adeleyanti N. (2020). New Normal Initiation Is Still Centralized, 1–2.
- Janssens P.B.E.E.H. (2020). The problematic concept of the “new normal”, 1–2