Amputasi Independensi Bank Indonesia di Tengah Risiko Resesi

Author: Ari Wibowo

Pro-Kontra Pengesahan RUU BI

Berbicara mengenai kata amputasi, tentunya banyak diartikan orang dengan yang menakutkan. Sebagaimana kabar beberapa waktu lalu, DPR akan melakukan pengesahan RUU BI yang menuai kontroversi. Dalam isi draf tersebut, terdapat tiga poin yang disoroti menjadi kekhawatiran mengenai independensi Bank Indonesia; pertama, akan ada tambahan target fungsi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas lapangan kerja, dalam artian Bank Indonesia turut membantu memantau perhitungan angka pengangguran selain fungsi utamanya menjaga stabilitas nilai mata uang. Dalam penambahan fungsi tugas ini, Bank Indonesia mengeluarkan laporan pencatatan angka pengangguran setiap kuartal atau 3 bulan sekali, sedangkan jika dibandingkan dengan The Fed, bank sentral Amerika, mengeluarkan laporan angka pengangguran setiap satu bulan sekali, sehingga dalam fungsi stabilitas lapangan kerja, Bank Indonesia menuai kontra mengenai efektivitas fungsi tersebut dalam menjadikan bahan evaluasi kebijakan.

Selain lapangan kerja, hal yang menjadi sorotan adalah isu mengenai penggabungan Bank Indonesia ke dalam dewan moneter. Dewan moneter sendiri akan dibentuk oleh beberapa pihak, di antaranya menteri keuangan yang sekaligus menjadi ketua, menteri bidang perekonomian, OJK, gubernur BI, dan deputi senior BI. Jika melihat susunan anggota dewan moneter tersebut, sekilas terasa de javu karena susunan anggota seperti itu sama dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Perbedaannya, kalau di dewan moneter, lembaga penjamin simpananan atau LPS tidak masuk menjadi keanggotaan, sedangkan di KSSK, LPS menjadi anggota yang setara dengan OJK, menteri keuangan, dan Gubernur BI. Tidak hanya itu, di dewan moneter ada menteri keuangan yang mengetuai Gubernur BI dan jajaran anggota lain sehingga hal ini yang menjadi sentimen negatif karena Bank Indonesia dalam menentukan arah kebijakan moneter harus berkoordinasi dengan menkeu yang arah kebijakannya beda yaitu menyasar fiskal. Bercermin pada sejarah, dewan moneter pernah dibentuk sebelum Krisis moneter tahun 1998, tetapi setelah itu dibubarkan karena dianggap tidak efektif menahan krisis.

Poin terakhir yang menjadi sorotan adalah pengembalian fungsi pengawas perbankan dari Otoritas Jasa Keuanan (OJK) kembali ke Bank Indonesia. Hal ini menjadi krusial karena Bank Indonesia akan memegang kendali arus keuangan yang sangat besar yang dikhawatirkan menjadi kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut peneliti ekonomi INDEF, Bhima Yudhistira, jika draf RUU Sistem Keuangan ini disahkan khususnya pembentukan dewan moneter akan menciptakan konsekuensi sebagaimana yang pernah terjadi pada pemerintahan era orde baru. Pengukuhan independensi Bank Indonesia dimaksudkan untuk meniru negara-negara maju yang menjaga stabilitas nilai keungan dan inflasi berdasar data driven dan bukan political driven atau malah disibukkan dengan agenda-agenda politik yang ada di eksektuif. Independensi menjadi sangat penting karena memegang urgensi dalam menjaga trust pelaku pasar untuk melakukan investasi atau penanaman modal ke dalam negeri. Sebenarnya, independensi dalam Bank Indonesia bukan berarti Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter secara sewenang-wenang, karena BI dalam menjalankan fungsinya juga selalu melakukan koordinasi dengan pemerintah dan DPR, seperti ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Laporan Tahunan DPR, sehingga meskipun independen, Bank Indonesia tetap melaporkan pertanggungjawabannya.

Kebijakan “Burden Sharing”: Seberapa Krusial?

Di tengah kondisi pandemi saat ini, koordinasi Bank Indonesia diperluas dengan melakukan kebijakan burden sharing bersama pemerintah dalam menangani pemulihan ekonomi melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Burden sharing atau bagi risiko dilakukan dengan penalangan dana sebesar Rp1.100 triliun untuk pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19. Akan tetapi, menurut anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP, kebijakan ini dinilai perlu ditinjau seberapa efektifnya karena skema burden sharing yang dijalankan pemerintah dan BI tetap meningkat beban utang. Sementara untuk penentuan suku bunga, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi karena kebijakan sudah menjadi wewenang Bank Indonesia yang independen.

Dalam pelaksanaannya pun Bank Indonesia masih memperhatikan keputusan RDP dan perkembangan ekonomi terkini. Jadi, apabila pembentukan Revisi UU BI ini khusus ditujukan untuk menanggulangi dampak COVID-19, seyogyanya tidak terlalu penting dilakukan. Menurut Direktur Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, resesi terjadi akibat penyebaran COVID-19 yang tidak berkesudahan, bukan disebabkan kegagalan sektor keuangan yang kemudian harus dipertanggungjawabkan oleh BI dan OJK. Oleh karena itu, reformasi sektor keuangan tidak menjamin perbaikan sektor ekonomi ketika pandeminya sendiri masih berlangsung ada di negeri ini. Justru reformasi keuangan yang dilakukan secara terburu-buru dapat menyebabkan pemerintah kehilangan fokus dalam menanggulangi pandemi.

Lantas apa yang sebaiknya dilakuan dan menjadi alternatif lebih solutif dibandingkan dengan merancang pengesahan RUU BI? Jawabannya adalah kembali lagi ke sinergi semua elemen pemangku kebijakan. BI dapat meluweskan kebijakannya agar ekonomi kembali terdongkrak, pemerintah membantu BI agar burden sharing tidak saling memberatkan dan seimbang, dan ada OJK yang dapat melakukan percepatan pemulihan dengan relaksasi kredit seperti yang tertuang dalam POJK 11/2020 maupun POJK 12/2020. Sehingga jika semua elemen ini dapat bekerja secara optimal tentunya krisis ekonomi yang dihadapi tidak terlalu berkepanjangan dan dapat semakin cepat untuk kembali pulih.

Referensi

  • https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f739be1bc788/beda-gaya-bank-sentral-dunia-cetak-uang-untuk-hadapi-krisis-COVID-19
  • https://finansial.BIsnis.com/read/20200902/90/1286275/pengawasan-perbankan-dipindah-ke-bank-indonesia-OJK-itu-domain-politik
  • https://www.medcom.id/ekonomi/makro/xkEy7Z9k-rekomendasi-bank-dunia-untuk-penanganan-COVID-19-dan-pemulihan-ekonomi
  • https://money.kompas.com/read/2020/09/15/161320526/ekonom-ingatkan-DPR-untuk-tidak-tarik-bank-sentral-di-bawah-dewan-moneter
  • https://finansial.BIsnis.com/read/20200902/90/1286275/pengawasan-perbankan-dipindah-ke-bank-indonesia-OJK-itu-domain-politik
  • https://finansial.BIsnis.com/read/20200901/11/1285898/ekonom-indef-dewan-moneter-seperti-kembali-ke-zaman-jahiliah?utm_source=Desktop&utm_medium=Artikel&utm_campaign=BacaJuga_1
  • https://finansial.BIsnis.com/read/20200901/11/1285812/kritik-keras-wacana-dewan-moneter-Dapat-hancurkan-sistem?utm_source=Desktop&utm_medium=Artikel&utm_campaign=BacaJuga_1
  • https://finansial.BIsnis.com/read/20200901/11/1285799/ini-alasan-kenapa-independensi-bank-sentral-penting?utm_source=Desktop&utm_medium=Artikel&utm_campaign=BacaJuga_2
  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/17/dua-skenario-pertumbuhan-ekonomi-global-2020-versi-oecd
  • https://www.cnbcindonesia.com/news/20201001170437-4-190984/buat-apa-ada-dewan-kebijakan-ekonomi-makro-di-atas-bi
  • https://citraindonesia.com/dewan-moneter-dan-kssk-mahluk-apa/
  • https://www.medcom.id/ekonomi/makro/xkEy7Z9k-rekomendasi-bank-dunia-untuk-penanganan-COVID-19-dan-pemulihan-ekonomi
  • https://money.kompas.com/read/2020/09/15/161320526/ekonom-ingatkan-dpr-untuk-tidak-tarik-bank-sentral-di-bawah-dewan-moneter
  • https://www.medcom.id/ekonomi/keuangan/3NOG65XN-pro-kontra-ruu-bi-bikin-rupiah-kembali-melempem

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.