Vaksin dan Sistem Kekebalan Tubuh: Konsep, Cara Kerja, dan Dampaknya

Author: Caesart Leonardo Kaharudin

Photo by Towfiqu Barbhuiya via unsplash.com

Vaksin adalah salah satu produk kesehatan paling penting yang pernah ditemukan manusia. Berkat vaksin, manusia berhasil menaklukkan penyakit-penyakit yang dulu dianggap berbahaya seperti polio dan campak. Vaksin terbuat dari virus atau bakteri penyebab penyakit (patogen) yang telah dilemahkan (Yadav dkk., 2014). Terdapat juga vaksin yang tidak mengandung pathogen, namun hanya mengandung senyawa toksik tidak aktif dari patogen tersebut. Walaupun vaksin mengandung patogen, vaksin tidak memiliki efek samping yang signifikan. Efek samping tersebut meliputi rasa sakit, gatal, dan kemerahan pada lokasi penyuntikan vaksin dan reaksi alergi yang disebabkan oleh bahan tambahan dalam vaksin. Konspirasi bahwa vaksin menimbulkan autisme pada anak tidak terbukti secara ilmiah (Spencer dkk, 2017). Namun, konspirasi tersebut tetap sukses menggerus kepercayaan publik terhadap vaksin. Oleh karena itu, penting untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya cara vaksin bekerja di dalam tubuh.

Sistem kekebalan tubuh manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem kekebalan bawaan dan sistem kekebalan adaptif (Sherwood, 2008). Sistem kekebalan bawaan adalah pertahanan pertama tubuh — bersifat tidak spesifik dan merespons terhadap berbagai jenis ancaman, mulai dari patogen hingga luka fisik. Sebaliknya, sistem kekebalan adaptif bersifat spesifik dan hanya menyerang target tertentu. Sistem kekebalan adaptif dapat dibagi lagi menjadi sistem berbasis sel atau sistem berbasis cairan tubuh (humoral). Vaksin memainkan peran penting pada sistem kekebalan adaptif. Vaksin membuat sistem kekebalan adaptif memiliki kesempatan untuk mengenali patogen-patogen sehingga sistem akan menjadi lebih siap ketika tubuh terserang penyakit yang sebenarnya.

Pada patogen, terdapat antigen, yaitu molekul khusus pada permukaan patogen yang dapat menarik perhatian sistem imun (Giese, 2016). Vaksin, sebagai patogen yang telah dilemahkan, masih memiliki antigen yang sama seperti patogen yang sesungguhnya. Antigen ini menjadi kunci bagi respons sistem kekebalan terhadap infeksi patogen. Ketika vaksin memasuki tubuh, antigen pada vaksin akan memancing sistem kekebalan bawaan berupa sel pemakan patogen seperti sel dendrit. Vaksin akan dimakan oleh sel dendrit sedangkan antigen vaksin akan ditampilkan di permukaan sel dendrit. Selanjutnya, antigen vaksin pada sel dendrit akan melakukan kontak dengan sel T pembantu. Sel T pembantu berperan sebagai pengatur sistem kekebalan adaptif. Kontak dengan antigen vaksin mengaktifkan sel T pembantu, sehingga sel T pembantu akan mengirim sinyal kepada sel B dan sel T sitotoksik (Siegrist, 2013).

Sinyal dari sel T pembantu akan mengaktifkan kedua sel tersebut sehingga kedua sel tersebut menjadi agresif terhadap vaksin (Tortora dkk, 2010). Sel B dan sel T sitotoksik merespons sinyal sel T pembantu secara berbeda. Sel B merespons dengan berubah menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi (protein yang mengikat patogen) yang mengikat banyak vaksin dalam bentuk gumpalan sehingga mudah untuk dihancurkan. Proses tersebut dikenal sebagai humoral mediated responsse atau respons melalui cairan tubuh. Sedangkan sel T sitotoksik mengeluarkan racun yang menghancurkan vaksin. Proses tersebut dikenal sebagai cell mediated responsse atau respons melalui sel.

Aktivasi sel T pembantu, sel B, dan sel T sitotoksik juga menghasilkan sel memori (Todryk, 2018). Sel memori ini mengingat antigen vaksin yang pernah dijumpai dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi antigen tersebut. Karena sistem kerjanya yang spesifik, respons sistem kekebalan adaptif memerlukan waktu untuk beradaptasi agar dapat melawan penyakit secara efektif sehingga kehadiran sel memori akan sangat membantu tubuh. Bila kemudian hari terjadi infeksi penyakit yang sebenarnya, keberadaan sel memori akan meningkatkan intensitas respons sistem kekebalan sehingga infeksi penyakit tersebut akan menjadi mudah untuk ditangani. Vaksin memang tidak mencegah infeksi penyakit. Seseorang yang sudah melakukan vaksinasi polio tetap dapat terinfeksi oleh virus polio yang sesungguhnya. Namun, karena keberadaan sel memori yang didapat dari vaksinasi, orang tersebut hanya akan mengalami gejala polio ringan yang tidak akan berkembang menjadi kondisi medis yang serius.

Pada kondisi normal, sel memori tersebut didapat bila manusia sudah terkena penyakit terlebih dahulu. Namun, kondisi tersebut kurang ideal. Tidak mungkin manusia harus tertular berbagai macam penyakit berbahaya yang mengancam nyawa untuk mendapatkan imunitas dari penyakit-penyakit tersebut. Ini adalah keuntungan terbesar dari vaksinasi. Vaksinasi menjadi cara yang aman untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit. Faktor tersebut, ditambah dengan efek samping vaksin, membuat vaksin menjadi metode pencegahan penyakit paling ampuh yang pernah diciptakan manusia.

Referensi

  • Giese M., (2016). Introduction to Molecular Vaccinology [online]. New York City: Springer, Cham. [diakses 15 September 2020]. DOI: https://doi.org/10.1007/978-3-319-25832-4_2
  • Sherwood, L., (2008). Human Physiology: From Cells to Systems. Edisi ke-7. Belmont: Brooks/Cole
  • Siegrist, C., (2013). Vaccine immunology. Dalam: S.A. Plotkin, W.A. Orenstein, P.A. Offit, eds. Vaccines [online]. Amsterdam: Elsevier. [diakses 15 September 2020]. DOI: https://doi.org/10.1016/B978-1-4557-0090-5.00004-5
  • Spencer, J.P., Pawlowski, R.H.T., Thomas, S., (2017). Vaccine Adverse Events: Separating Myth from Reality. American Family Physician [online]. 95(12), 786–794. [diakses 15 September 2020]. URL: https://www.aafp.org/afp/2017/0615/p786.html
  • Todryk, S.M., (2018). T Cell Memory to Vaccination. Vaccines (Basel). 6(4), 84–89. [diakses 16 September 2020]. DOI: https://dx.doi.org/10.3390%2Fvaccines6040084
  • Tortora, G.J., Derrickson, B., (2010). Introduction to the Human Body: the essentials of anatomy and physiology. Edisi ke-8. Hoboken: John Wiley & Sons
  • Yadav, D.K., Yadav, N., Khurana, S.M.P., (2014). Vaccines: Present Status and Applications. Dalam: A.S. Verma, A. Singh, eds. Animal Biotechnology: Models in Discovery and Translation [online]. Amsterdam: Elsevier. [diakses 14 September 2020]. DOI: https://doi.org/10.1016/B978-0-12-416002-6.00026-2

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.