Bahaya Laten Kampus “Merdeka”

Author: Naufal Ridhwan Aly

“Memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai”
— Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Ungkapan tersebut tentu terdengar sangat meyakinkan dan ambisisus untuk seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang selama ini programnya tidak terlalu jelas karena cenderung mengganti penamaan suatu program saja. Namun, lain halnya dengan Nadiem, program yang dinamakan Merdeka Belajar — Kampus Merdeka sangat revolusioner, jika dapat dikatakan seperti itu. Kebijakan ini dibuat dalam rangka menyiapkan mahasiswa menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi yang pesat, kompetensi mahasiswa harus disiapkan untuk lebih gayut dengan kebutuhan zaman. Bukan hanya Link and match saja dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat.

Kampus Merdeka dan Tantangan Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiwa dapat meraih capaian pembelajaran mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal dan selalu relevan. (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020). Lebih lanjut, program Merdeka Belajar — Kampus Merdeka diharapkan dapat menjawab tantangan perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemajuan IPTEK, tuntutan dunia usaha dan dunia industri, maupun dinamika masyarakat.

Pada satu sisi, saya sepakat dengan program kebijakan Merdeka Belajar — Kampus Merdeka, khususnya dalam sisi terobosan yang sangat radikal dalam mengubah pola-pola pendidikan yang sebelumnya sangat rigid dan tentu, membosankan. Namun, di sisi lain, saya menggugat tujuan dari kebijakan ini yang dapat dilihat bahwa kebijakan ini menyimpan suatu bahaya laten, motif yang bermaksud untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dijual kepada mahasiswa dalam ungkapan “tuntutan dunia usaha dan dunia industri”. Ungkapan tersebut seakan membenarkan bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk “bekerja”, mewajarkan calon mahasiswa untuk memilih jurusan yang mereka pikir dapat membantu saat melamar bekerja besok setelah lulus, dan membuat sekolah dinas menjadi primadona dan idaman mertua karena garansi bahwa lulus sekolah akan langsung “bekerja”.

Ironi “Kemerdekaan” dalam Program Kampus Merdeka

Pencatutan kata merdeka dalam Kampus “Merdeka” juga mengandung suatu delusi tenang konsep kemerdekaan. Althusser dalam esainya berjudul “Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara” menjelaskan permasalahan ini dengan lebih gamblang dan intelektuil. Kesimpulan dari esai tersebut adalah tidak ada sesuatupun di luar ideologi. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah bahwa semua yang kita anggap objektif sebetulnya hanyalah konstruksi subjektif-ideologis tertentu saja. Hal ini berkaitan dengan konsepsi Althusser tentang subjek. Baginya, fungsi ideologi adalah menjalankan subjektivasi atau proses transformasi individu menjadi subjek atau agensi sosial yang tertentu. Melalui aparatus ideologi negara, dalam hal ini tentu saja pendidikan dengan segala macam bentuk institusinya.

Melalui aparatur ideologis pendidikan, kita diajarkan untuk menjadi orang yang patuh pada aturan masyarakat sekaligus berperan di tengah masyarakat tersebut dengan berbagai macam ilmu yang telah kita dapatkan selama menempuh pendidikan. Pendidikan, dengan demikian, memastikan agar fungsi kita sebagai subjek dalam masyarakat terpenuhi, misalnya agar dapat bekerja mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam sistem pembagian kerja yang ada. Menjadi subjek, karenanya, bukan berarti menjadi otonom melainkan justru menjadi hamba dari mesin sosial-politik di mana sang subjek menjadi sekrup di dalamnya. Akibatnya, pandangan sang subjek tentang dunia tak lain adalah pandangan sistem yang memproduksinya (Althusser, 2015: 4).

Teori Althusser menjadi semakin relevan dengan kondisi saat ini. Munculnya kebijakan Merdeka Belajar — Kampus Merdeka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makariem, yang berasal dari latar belakang pebisnis. Kebijakan yang dirancang untuk memenuhi tuntutan, arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan dunia usaha dan industri, serta untuk menyiapkan peserta didik dalam dunia kerja. Tujuan tersebut sangat jelas jika manusia hanya dilihat dari satu sisi semata, Homo Economicus. Padahal, cita-cita pendidikan sejatinya adalah tidak memikirkan material sama sekali, melainkan memberi kebebasan pada tiap-tiap individu untuk menentukan nasibnya sendiri, sehingga kehidupannya dapat lebih bermoral dan bermartabat, tidak hanya sebatas urusan perut dan syahwat semata. Seperti yang pernah dikatakan oleh Sosiolog Amerika, Du Bois:

“Cita-cita pendidikan, apakah manusia dididik untuk mengajar atau membajak (lahan), menenun atau menulis, tidak boleh dibiarkan tenggelam ke dalam utilitarianisme yang dangkal. Pendidikan harus menjaga cita-citanya yang luas, dan tidak pernah lupa bahwa pendidikan berhubungan dengan jiwa dan bukan dengan dolar” (Du Bois, 1902: 82).

Kesimpulan

Persoalan pendidikan memang persoalan yang pelik. Baik buruknya suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikanya. Perubahan di zaman digital tentu membuat kita harus lebih adaptif dalam menyikapi berbagai perubahan yang tidak bisa tidak kita tolak. Hal ini pula yang kemudian menjadi titik tolak Nadiem saat menggagas Kebijakan Merdeka Belajar — Kampus Merdeka, karena mungkin baginya ilmu untuk ilmu hanyalah omong kosong. Namun demikian, kita juga tidak boleh melupakan begitu saja cita-cita mulia dalam pendidikan, yaitu memanusiakan manusia, yang tentu tidak hanya mencakup aspek ekonomi semata.

Referensi:

  • Althusser, L., (2015), Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. Amerika Serikat: IndoPROGRESS.
  • Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar — Kampus Merdeka. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Du Bois, W. E. B. (1902). The Negro Artisan: Report of a Social Study Made Under the Direction of Atlanta University; Together with the Proceedings of the Seventh Conference for the Study of the Negro Problems, Held at Atlanta University, on May 27th, 1902. Atlanta University Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.