Karena Tuhan Telah Mati, Maka Kita Membutuhkan Puisi

Author: Derry Sulisti Adi Putra

“Seni, apapun tujuannya, dengan perasaan bersalah mencoba bersaing dengan Tuhan.”
-Stanislas Fumet

“Kematian Tuhan” adalah warta yang sebenarnya tidak lagi baru. Warta yang pertama kali disiarkan oleh Friedrich Nietzsche tersebut menjadi penutup bagi filsafat modern dan membuka jalan bagi pascamodernitas. “Kematian Tuhan” tidak hanya menandai keruntuhan akan kepercayaan pada “Sang Pencipta”, namun juga kepercayaan pada sains (saintisme), bahkan pada kepercayaan akan ketiadaan “Sang Pencipta” (ateisme). Secara sederhana, Nietzsche menolak segala bentuk kepercayaan yang mandek (Wibowo, 2004).

Dalam perspektif postmodern, kepercayaan berjalan beriringan dengan bahasa. Dengan demikian, peruntuhan terhadap bentuk kepercayaan meniscayakan keruntuhan pada keajegan konvensi bahasa. Akan tetapi, dalam konsep Zizek perihal yang-Riil, runtuhnya kepercayaan dan konstruksi budaya tidak bisa bertahan cukup lama pada diri manusia, karena diri manusia justru ada karena konstruksi itu sendiri — tanpa konstruksi, tidak ada diri (Setiawan, 2020). Maka dari itu, runtuhnya suatu konvensi-bahasa meniscayakan terbentuknya konvensi-bahasa yang baru. Hal tersebut menandakan adanya unsur kebutuhan seseorang untuk memegang kepercayaan.

Lantas, bila kepercayaan dan, dengan demikian, bahasa, menurut Nietzsche, perlu dibongkar karena membelenggu manusia, sedangkan manusia tidak bisa tidak memegang kepercayaan, maka apa yang seharusnya dilakukan manusia?

Dalam kata pengantarnya untuk La Gaya Ciencia, Nietzsche mengajukan konsep “tarian topeng”. Bagi Nietzsche, kata adalah topeng yang menutupi realitas dan, tentu saja, manusia tidak bisa terlepas darinya (Wibowo, 2004). Untuk menyiasati ketidakberdayaannya, manusia perlu menjadikan kata, sebagaimana topeng bagi seorang penari topeng, sebagai bagian dari kreativitas. Dengan demikian, Nietzsche menganjurkan pada setiap pengguna kata untuk menjadi penari topeng, sebab sudah sewajarnya topeng diperlakukan sebagaimana mestinya — sebagai selubung bagi kenyataan. Dengan menjadi kreatif, seorang pengguna kata tidak akan terkungkung oleh konvensi bahasa.

Bahasa: Asal Mula “Kebohongan”

Dalam Linguistik Modern, bahasa dipahami sebagai sistem tanda. Tanda yang dimaksud adalah setiap tindak berbahasa verbal (disebut penanda) dan dipahami sebagai wakil bagi sebuah konsep dalam realitas (petanda) (Saussure, 1966). Dengan demikian, bahasa dipahami sebagai representasi bagi realitas. Demikianlah Saussure memulai era Linguistik Struktural.

Setelah Saussure, hubungan antara bahasa dan realitas, kata dan makna, menjadi topik yang seksi dalam filsafat. Hal itu mewujud dalam “Palingan Bahasa” (linguistic turn) yang menandai terjadinya pergeseran fokus kajian filsafat, yaitu bukan lagi membicarakan dunia, melainkan membicarakan cara membicarakan dunia.

Teori Saussure tentang tanda menuai berbagai respon. Claude Lévi-Strauss, seorang antropolog asal Prancis, mengadopsi pemikiran Saussure untuk mengkaji bagaimana struktur bahasa menyembunyikan struktur nilai dalam sebuah kebudayaan. Selain Lévi-Strauss, terdapat pula Roland Barthes yang mengkaji bagaimana sebuah struktur tanda menandai sebuah struktur tanda lain yang menandai sebuah ‘mitos’ (Habib, 2008).

Setelah Roland Barthes, pemikiran Saussure mulai dipertanyakan ulang. Jacques Derrida, seorang ahli fenomenologi asal Prancis, melakukan kritik atas konsep penanda-petanda, kata-makna, dari Saussure. Bagi Derrida, hubungan langsung antara penanda dan petanda mengandaikan kehadiran objek yang ditandai. Padahal, penanda, sebagai tulisan, selalu bergerak dengan bebas melampaui konteks ruang dan waktu penggunanya. Ketika penanda terlepas dari penggunanya, maka objek yang ditandai tidak hadir. Akan tetapi, penanda selalu membutuhkan petanda dan, dengan demikian, penanda perlu didefinisikan. Persoalan tampak ketika definisi diberikan, yaitu bahwa di balik penanda tidak ada lagi petanda, melainkan hanya rentetan penanda yang lain. Rentetan penanda tersebut berupaya merengkuh petanda, namun tidak pernah sampai pada kepenuhannya (Al-Fayyadl, 2005). Secara sederhana, Derrida hendak menyatakan bahwa makna telah hilang, bergerak dengan liar pada ruang dan waktu, dan yang tersisa hanyalah kata.

Perjalanan sejarah filsafat bahasa tersebut menunjukkan bagaimana bahasa tidak mampu mewakili realitas. Jadi, bila, dalam pemikiran struktural, berbahasa merupakan tindak membilang realitas, maka, dalam alam pikiran pascastruktural, berbahasa hanyalah upaya utopis manusia untuk mampu membilang realitas dengan tepat.

Keruntuhan Konstruksi dan Terbukanya Ruang Kreatif

Hubungan antara bahasa, konstruksi budaya, dan individu dijelaskan dalam psikoanalisis. Salah satu pemikir paling berpengaruh dalam psikoanalisis adalah seorang psikoanalis dari Prancis, Jacques Lacan yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran pendahulunya, Sigmund Freud (Habib, 2008).

Dalam konsep tri adiknya, Lacan menjelaskan bagaimana identitas dan subjek terbentuk. Ego, sesuatu yang kita tampakkan sehari-hari, dapat dipahami sebagai identitas dan pemahaman terhadapnya berarti pemahaman tentang identitas diri. Ketika seseorang lahir, di dalam dirinya telah terdapat hasrat. Akan tetapi, berbeda dengan orang dewasa, bayi belum merasa tertekan hasratnya karena memang hasratnya masih terpenuhi. Semisal, minum susu dari Ibu. Ketika si bayi belum merasakan adanya represi atas hasratnya, maka ia belum menyadari adanya Super-Ego. Tanpa Super-Ego, tidak ada identifikasi diri. Dengan demikian, bayi belum menyadari dirinya.

Tetapi, akan tiba saatnya si Ibu tidak bisa memenuhi semua kebutuhan si bayi, misalnya untuk ada di sampingnya setiap saat. Menghadapi kenyataan itu, si bayi menyadari bahwa hasratnya mulai tidak terpenuhi karena suatu halangan tertentu. Halangan tersebut bisa dipahami sebagai Super-Ego. Adanya Super-Ego menuntun si bayi pada identifikasi dirinya, yaitu bahwa dirinya dan ibunya merupakan dua hal yang berbeda.

Upaya identifikasi diri pertama si bayi dimulai dengan melihat rupa dirinya di hadapan “cermin”. Cermin di sini dapat dipahami baik secara harfiah maupun metaforik (pantulan wajahnya pada mata si Ibu, misalnya). Fase ini disebut sebagai “Fase Imajiner” (Suryajaya, 2014).

Semakin lama, Super-Ego hadir dalam bentuk moral yang disampaikan pada si anak melalui bahasa. Bagaimana cara kerja bahasa? Penjelasan Lacan perihal bahasa mirip dengan penjelasan Derrida, yaitu bahwa kata merupakan sebuah konsep metafisis yang tidak merepresentasikan realitas secara tepat. Dalam fase ini, bahasa, sebagai kendaraan bagi moral, mengarahkan hasrat dari subjek pada suatu objek hasrat tertentu.

Misalnya, seorang Ayah memberi petuah pada si anak untuk menjadi anak yang ‘pintar’. Dengan demikian, hasrat si anak diarahkan untuk memenuhi harapan si Ayah. Persoalannya, berdasarkan pikiran pascastruktural, kata atau tanda tidak pernah mencapai kepenuhan maknanya. Definisi dari ‘pintar’ tidak pernah final dan dapat berubah sesuai konteks ruang dan waktu. Maka dari itu, si anak akan mengejar predikat ‘pintar’ yang sebenarnya tidak pernah ada. Hasrat manusia selalu mengejar sesuatu yang simbolik, sesuatu yang seakan ada namun sebenarnya tidak ada. Fase ini disebut sebagai “Fase Simbolik” (Suryajaya, 2014).

Kedua fase itulah, yaitu imajiner dan simbolik, yang mengkonstruksi identitas subjektif manusia. Apa yang dipahami tentang baik-buruk atau indah-tidak indah merupakan hasil dari kedua fase tersebut.

Di hadapan diri subjektif, semua memiliki dan diberi nilai serta makna. Nilai dan makna pada sesuatu, tentu saja, bersifat subjektif. Realitas, pada dirinya, tidak punya makna dan nilai. Realitas yang ada pada dirinya, yang tidak mengandung nilai dan makna dari diri subjektif disebut sebagai “The Real” atau “yang-Riil” (Setiawan, 2020).

Jadi, konstruksi senantiasa membuat manusia tidak dapat mempersepsi realitas sebagaimana adanya. Dengan demikian, konstruksi dapat diibaratkan seperti kacamata yang diberikan oleh masyarakat.

Lalu, bagaimana akses terhadap realitas-sebagaimana-adanya menjadi mungkin?

Jawaban atas pertanyaan itu dipikirkan oleh seorang filsuf psikoanalisis-Marxis, Slavoj Žižek. Dalam teori Žižek, subjek selalu merasa bahwa hidupnya berjalan sebagaimana adanya dan senantiasa dalam kenormalan. Padahal, setiap subjek selalu berada di bawah konstruksi. Kondisi tersebut dapat disamakan dengan istilah marxis ortodoks, yaitu “kesadaran palsu”. Dalam kesadaran palsu, subjek tidak tahu menahu tentang realitas di sekitarnya (Setiawan, 2020).

Akan tetapi, Žižek menyatakan sesuatu yang berbeda. Bagi Žižek, persentuhan individu dengan realitas adalah hal yang mungkin. Sebagai contoh, si X tertarik untuk membeli sebuah produk dari merek pakaian yang mahal dan sedang digandrungi oleh anak-anak muda. Padahal, si X sadar bahwa kualitas produk tersebut tidak jauh berbeda dengan produk dengan harga murah dan kurang populer. Akan tetapi, si X tetap membeli produk tersebut.

Dalam perspektif Žižek, pengetahuan si X tentang kualitas produk adalah bukti persentuhan subjek dengan realitas. Pengetahuan soal realitas menandakan bahwa si subjek telah mengakses yang-Riil (Setiawan, 2020). Pengalaman akan yang-Rill, menurut Žižek, dimungkinkan ketika realitas (kualitas produk yang tidak jauh beda dengan produk yang lebih murah) muncul sebagai hal yang berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh tatanan Simbolik (jaminan kualitas).

Dalam momen tersebut, subjek mengalami kekosongan, hasratnya telah berhenti (Suryajaya, 2014). Akan tetapi, si subjek dapat memilih untuk kembali ke dalam tatanan simbolik tersebut atau melakukan tindakan radikal, tidak membeli produk tersebut misalnya.

Dalam penjelasan di atas, tindakan radikal terkait erat dengan kehendak pribadi si individu. Kehendak untuk bebas mendorong seseorang untuk memikirkan dan merumuskan sendiri strategi tindakan radikalnya. Tindakan tersebut dapat dipahami sebagai tindak kreasi dan, dengan demikian, si individu menjadi kreatif. Maka dari itu, keruntuhan konstruksi merupakan penanda bagi terbukanya pintu kreativitas.

Tuhan Telah Mati! Mari Kita Berpuisi!

Kematian Tuhan adalah sebuah metafora bagi keruntuhan konstruksi. Ketika Tuhan telah mati, realitas tampil sebagaimana adanya (Wibowo, 2004). Tidak ada lagi bangunan suci. Tidak ada lagi barang mewah. Tidak ada lagi orang keramat. Tidak ada lagi baik. Tidak ada lagi buruk.

Di hadapan kondisi semacam itu, apalagi yang dapat diharapkan?

Manusia tidak dapat lepas dari konstruksi. Sebagai subjek, hasratnya mesti mengarah pada suatu hal. Akan tetapi, ketundukan subjek di bawah konstruksi menunjukkan suatu ketertipuan. Sungguh kontradiktif.

Tapi, sebagaimana Nietzsche ajukan, manusia tidak dapat lepas dari topeng. Maka dari itu, hal yang bisa dilakukan oleh manusia adalah membangun kaki yang kokoh dan tubuh yang lentur sehingga dapat menari dengan indah (Wibowo, 2004).

Kata tidak boleh mandeg. Kata tidak boleh memperbudak hasrat. Kata mesti menjadi puisi. Maka dari itu, puisi bukan tentang kata yang indah, melainkan tentang “dengan bahasa apa hidup ini mesti dijalani.”

Tuhan telah mati! Mari kita berpuisi!

DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
  • Habib, R. (2008). A history of literary criticism and theory: from Plato to the present (18th ed.). New York: Blackwell Pub.
  • Saussure, F. d. (1966). Course in General Linguistics. New York: McGraw-Hill.
  • Setiawan, R. (2020). Subjektivitas Dalam Filsafat Politik Alain Badiou Dan Slavoj Zizek. Yogyakarta: Ircisod.
  • Suryajaya, M. (2014, September 2). Slavoj Žižek dan Pembentukan Identitas Subjektif Melalui Bahasa. Jurnal Ultima Humaniora, Vol. II (No. 2), 136–147.
  • Wibowo, A. S. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.