Author: Arma Zalfa Nadhifa
“Tren peningkatan jumlah pidana anak setiap tahunnya terus meningkat. Hampir di setiap lapas dewasa, terdapat narapidana anak. Jika tidak ditangani dengan baik, kita tinggal menunggu bom waktu 10–20 tahun lagi. Mereka akan menjadi kriminal-kriminal dewasa”
– Prof. Yusti Probowati
Leave No One Behind—Slogan semangat pembangunan berkelanjutan yang sejak awal digaungkan nampaknya belum benar-benar ‘tidak meninggalkan satu orang pun’ di belakang. Dalam target pembangunan berkelanjutan, tahun 2030 diharapkan dapat menjadi tahun dimana semua orang dapat memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan serta tahun dimana akses pendidikan dan pelatihan kejuruan bagi kelompok rentan mencapai kesetaraan (Sustainable Development Goals Indonesia, 2017). Namun, tak bisa dipungkiri bahwa masih terdapat beberapa kalangan yang belum secara maksimal mendapatkan kesempatan untuk ikut turut serta dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan, salah satunya ialah kelompok rentan narapidana anak dan remaja. Pandemi COVID-19 berimbas pada hadirnya kebijakan asimilasi narapidana yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Pada bulan Mei 2020 lalu, sebanyak kurang lebih 962 narapidana anak dari 525 UPT pemasyarakatan mendapatkan program asimilasi dan integrasi sehingga dibebaskan dan mendapat keringanan dari hukuman penjara yang mereka tanggung demi mencegah penyebaran virus COVID-19 di dalam lapas (Rochman dalam Apriyanti, 2020). Pemberian program asimilasi maupun integrasi terhadap tahanan anak dan remaja menimbulkan suatu pertanyaan tentang bagaimana nasib anak-anak dan para remaja mantan narapidana tersebut setelah bebas dari sel dan mencoba untuk hadir kembali di tengah-tengah masyarakat, mengingat pro kontra yang muncul terhadap kebijakan asimilasi-integrasi narapidana dilandasi oleh berbagai macam suara kekhawatiran masyarakat.
Seorang sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta, Drajat Tri Kartono mengungkap beberapa faktor tentang bagaimana seorang napi asimilasi kembali melakukan kejahatan atau aktivitas kriminal selepas dibebaskan. Menurutnya, dalam beberapa kasus, penjara tidak menjadi tempat yang menakutkan, namun justru menjadi sebuah sekolah kriminal yang memproduksi agen-agen kriminal yang lebih canggih. Hal itu dikarenakan penjara adalah sebuah tempat bagi para narapidana untuk mendapatkan jaringan kriminal baru yang lebih luas dengan bertemunya mereka dengan narapidana-narapidana lain yang dikenal sebagai penjahat-penjahat yang sangat kuat. Hidup bersama dalam waktu yang lama membuat internalisasi nilai-nilai kriminal terjadi di dalam lapas (Shalihah, 2020). Hal tersebut diperparah dengan faktor-faktor lain seperti hukuman yang tidak dapat memberikan efek jera, minimnya proses moderasi narapidana setelah dibebaskan, tuntutan ekonomi, hingga sifat buruk bawaan lahir yang sudah melekat dalam diri narapidana ( Shalihah dalam Kartono, 2020).
“Ketakutan terbesar seorang mantan narapidana adalah munculnya penolakan dari masyarakat karena kami pernah dipenjara.” Kalimat tersebut diungkapkan oleh salah seorang mantan narapidana remaja yang sedang menjalani tahap rehabilitasi di salah satu shelter khusus mantan narapidana bernama Rumah Hati di Jombang, Jawa Timur, lewat sebuah video interview. Rasa takut itu mungkin sulit dipahami oleh orang lain, namun benar-benar mereka rasakan. Dalam hal ini, penolakan dari masyarakat membuat para mantan narapidana anak dan remaja, mau atau tidak mau, kembali ke lingkungan lamanya yang tidak sehat. Yusti Probowati, seorang guru besar psikologi forensik pertama di Indonesia mengungkap bahwa hampir tidak terdapat tenaga kesehatan mental— baik psikolog ataupun psikiater hampir di seluruh lapas anak di Indonesia. Tenaga kesehatan mental yang dapat ditemui di lapas-lapas anak masih dalam jumlah yang relatif kecil, selaras dengan jumlah psikolog klinis di Indonesia yang hanya berjumlah kurang dari 10% dari total keseluruhan 11.500 psikolog pada tahun 2019 (Adam, 2019). Padahal, pemberian intervensi oleh psikolog berpotensi meningkatkan kepercayaan diri narapidana setelah keluar dari lapas, mengetahui bakat-bakat terpendam dan mengembangkannya menjadi ketrampilan. Hasilnya, narapidana mampu memiliki self-esteem yang baik dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk kembali kepada masyarakat dan berjuang untuk dapat diterima oleh dunia. Hal yang sebaliknya akan berpotensi terjadi jika intervensi dan bimbingan psikologis tidak dilakukan.
Ketiadaan dukungan psikolog dan psikiater di dalam lapas anak dan remaja dapat menjadi salah satu indikator tentang belum terciptanya persiapan yang matang bagi bangsa besar Indonesia dalam mewujudkan cita-cita global di tahun 2030 kelak. Salah satu potret konkrit dari kelesuan negara dalam pengelolaan narapidana, khususnya narapidana anak dan remaja, dapat dilihat melalui kondisi eksistensi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II B Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta yang menjadi tempat dibinanya seluruh tahanan anak di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. LPKA Klas II Wonosari dilaporkan memiliki fasilitas pendidikan yang sangat minim. Semangat belajar narapidana anak yang tinggi belum diimbangi dengan konsistensi kehadiran pengajar yang merupakan guru pendamping dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Gunung Kidul. Bersamaan dengan hal tersebut, pendampingan psikologis pun belum mampu didapatkan oleh setiap anak. Hal tersebut membuat para orang tua dan petugas lapas bersama-sama mengusahakan program keterampilan bagi anak-anak dengan fasilitas seadanya (Yuwono, 2017).
Narapidana anak dan remaja, satu kelompok rentan berusia kurang dari 18 tahun yang belum banyak mendapatkan sorotan dan justru seringkali mendapat stigma sebagai mantan penjahat dan orang buangan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang besar, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas. Dari sudut pandang psikologi, teori psikososial yang dipopulerkan oleh Erik Erikson mengungkap bahwa usia remaja yang identik dimulai dari jenjang SMP dengan rata-rata usia 15 tahun menjadi tahap paling kritis untuk mengembangkan kepercayaan diri seorang manusia. Pada tahap ini, tumbuhnya kepercayaan diri juga didukung oleh peran dari lingkungan sosial (Santrock, 2018). Usia anak hingga remaja adalah usia strategis dalam pembentukan mental dan kepribadian seorang individu. Pengalaman-pengalaman pahit tanpa penanganan dan bimbingan yang tepat yang dialami oleh para narapidana di usia tersebut dapat berdampak pada terciptanya kriminal-kriminal dewasa di masa depan. Pembangunan fasilitas pendidikan formal dan nonformal di lapas-lapas harus digalakkan bersamaan dengan diberdayakannya tenaga ahli kesehatan mental dalam memberikan bimbingan psikologis, serta penumbuhan kesadaran masyarakat untuk dapat menerima anggota-anggotanya yang merupakan mantan tahanan. Hak mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia tidak lepas dari salah satu cita-cita bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang didukung oleh Pasal 31 UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Target pembangunan berkelanjutan keempat yang mengangkat masalah kesetaraan akses pendidikan sebagai salah satu isu utama juga sudah seharusnya menjadi alasan besar negara untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada tiap warga negaranya tanpa terkecuali, termasuk kepada narapidana anak dan remaja.
Referensi
- Adam, A. (2019, May 06). Defisit psikiater Dan Psikolog, Sebarannya Terpusat di Jawa. Retrieved May 02, 2021, from https://tirto.id/defisit-psikiater-dan-psikolog-sebarannya-terpusat-di-jawa-dpk2
- Rochman, F. (2020, May 18). 39.628 Narapidana dan Anak Telah Dibebaskan Karena Pandemi COVID-19. Retrieved May 02, 2021, from https://m.antaranews.com/berita/1498340/39628-narapidana-dan-anak-telah-dibebaskan-karena-pandemi-covid-19
- Santrock, J. W. (2018). A Topical Approach to Life-Span Development (9th ed.).New York: McGraw-Hill Education
- Sustainable Development Goals Indonesia, 2017. Retrieved May 02, 2021, from https://www.sdg2030indonesia.org/
- Shalihah, N (2020, April 19). Mengapa Napi Asimilasi Kembali Berbuat Kriminal? Ini Analisisnya. Retrieved May 02, 2021, from https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/19/130400565/mengapa-napi-asimilasi-kembali-berbuat-kriminal-ini-analisisnya-?page=all#page2
- Yuwono, M (2017, May 05). Mengintip Fasilitas Pendidikan Untuk Penghuni lapas Anak di Gunungkidul. Retrieved May 02, 2021, from https://regional.kompas.com/read/2017/05/05/07000061/mengintip.fasilitas.pendidikan.untuk.penghuni.lapas.anak.di.gunungkidul?page=all
- (Youtube) Lentera Indonesia – Kisah Faisol Hidayat pendamping Rumah hati di Lapas Jombang. (2015, July 05). Retrieved May 02, 2021, from https://youtu.be/Lw8Y9YFeSdk
- Pakar Psikologi Forensik Beri Harapan Baru untuk Narapidana anak. (2020, July 24). Retrieved May 02, 2021, from https://youtu.be/PJbP19NOi_o