Target 5.3 dalam Kesetaraan Gender: Benturan SGDs dan Pelestarian Tradisi Potong Jari Papua

Author: Devina Ocsanda

Photo by Bob Brewer via unsplash.com

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai tahun 2015 menyetujui pelaksanaan tujuh belas tujuan dalam Sustainable Development Goals (SGDs) yang menyediakan cetak biru agenda-agenda pembangunan berkelanjutan 2030 (United Nations, 2021). Isu-isu yang diangkat mulai dari isu lingkungan fisik, lingkungan sosial, hingga sains dan teknologi dalam rangka perdamaian dan kemakmuran. Sesuai namanya, pembangunan berkelanjutan, orientasi SGDs meliputi pembaharuan dan penyelesaian masalah di masa kini yang berorientasi ke masa depan.

Isu kesetaraan gender yang hingga saat ini masih menjadi problem dan barangkali semakin banyak problem turut mendapat perhatian PBB dalam tujuan kelima Sustainable Development Goals (SGDs), yaitu tentang kesetaraan gender. Hak-hak dan kebebasan perempuan menjadi titik tolak goals tersebut, mulai dari pembebasan diskriminasi, kekerasan, praktik membahayakan, hingga persoalan partisipasi perempuan dalam dunia kerja maupun politik (United Nations, 2021). Hak dan kebebasan yang diperjuangkan dalam beberapa kasus sulit berjalan beriringan dengan beberapa budaya di masyarakat. Badan-badan pelestarian, baik dalam warisan budaya tangible (misal Balai Pelestarian Cagar Budaya) maupun intangible (misal Balai Pelestarian Nilai Budaya) yang mulai dioptimalisasi perannya mulai memperlihatkan keseriusan dalam pelestarian budaya. Beberapa tradisi yang diupayakan untuk dilestarikan badan-badan pelestarian tersebut tampak tidak sejalan dengan tujuan SGDs. Salah satunya target 5.3 mengenai eliminate all harmful practices dalam tujuan kelima SGDs tentang kesetaraan gender (United Nations, 2021) yang berbenturan dengan Tradisi Potong Jari pada beberapa suku di Papua. Praktik tersebut masih eksis pada beberapa suku di Pulau Papua walaupun tidak seintens masa-masa sebelumnya.

Tradisi Sakral dalam Kematian

Budaya merupakan seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1989). J.J. Honingmann (dalam Koentjaraningrat, 1989) menyebutkan terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu ideas sebagai suatu gagasan, nilai, dan norma; activities sebagai suatu kompleks aktivitas dan tindakan berpola; dan artifacts sebagai benda hasil karya. Budaya tidak begitu saja hadir dan dipraktikkan secara kontinu oleh masyarakat. Terdapat proses-proses agar suatu budaya dapat hidup dan diwariskan. Budaya mengalami internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi hingga akhirnya dapat berlangsung dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1989).

Kematian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kematian lebih jauh tidak hanya bersifat individual, tetapi juga bermakna secara sosial atau individual kolektif (Aufa, 2017). Dalam menghadapi kematian pada suatu kelompok masyarakat akan muncul budaya berupa perilaku yang kemudian terinternalisasi hingga terenkulturasi dalam masyarakatnya. Perilaku dalam menghadapi kematian menjadi tradisi-tradisi (budaya) unik yang dipraktikkan oleh masyarakat.

Tradisi Potong Jari di Papua merupakan tradisi yang dipraktikkan oleh perempuan ketika anggota keluarga yang bersangkutan meninggal. Suku yang menjalankan praktik ini misalnya suku Dani dan suku Moni. Jari tangan seorang perempuan biasanya ibu atau perempuan tertua di keluarga harus dipotong untuk menunjukkan duka mendalam untuk anggota keluarga yang meninggal. Dalam tradisi potong jari, terkandung makna bahwa hubungan kekerabatan merupakan hal yang sangat utama. Untuk membentuk tatanan sosial masyarakat dalam suku pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat penting (Zonggonau, 2017). Kerukunan, kesatuan, dan hubungan kekeluargaan yang erat dan saling membutuhkan satu sama lain tercermin dari tradisi tersebut. Oleh karena itu, seseorang akan merelakan sesuatu dalam hidup mereka untuk seseorang yang dicintainya termasuk jari-jari tangannya (Zonggonau, 2017).

Tradisi atau Praktik Membahayakan?

Tak hanya Tradisi Potong Jari di Papua, banyak tradisi di belahan dunia yang melibatkan modifikasi fisik dan amputasi anggota tubuh. Tradisi tersebut mengharuskan partisipannya merasakan sakit pada saat praktik berlangsung. Bagi masyarakat awam, Tradisi Potong Jari yang terdapat pada suku-suku di Papua tampak seperti penyiksaan terhadap perempuan. Namun, bagi masyarakat pemilik tradisi praktik yang dilakukan merupakan suatu hal yang harus dijalani demi keberlangsungan suku pendukung tradisi tersebut. Tradisi yang menurut awam adalah praktik membahayakan telah terinternalisasi jauh dalam masyarakat pendukung. Oleh karena itu, bagaimanapun pandangan dunia luar terhadap tradisi tersebut, praktik akan tetap dijalankan.

Tradisi Potong Jari tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beberapa suku di Papua karena masyarakat menganggapnya bagian dari prosesi kematian. Bagaimana jika mereka hidup tanpa tradisi tersebut? Mungkin hal tersebut bisa terjadi. Namun, tradisi tersebut terlalu melekat dalam masyarakat dan menjadi bagian identitasnya sehingga sulit me-replace tradisi tersebut dengan kebiasaan baru. Maka sekalipun muncul banyak anggapan buruk di luar suku tentang tradisi mereka, mereka akan tetap berusaha mempertahankannya karena tradisi sakral tersebut adalah warisan luhur yang memiliki makna mendalam.

Menembus Dinding Tradisi

Permasalahan yang muncul adalah apakah target 5.3 eliminate all harmful practices dalam SDGs akan dilaksanakan dalam suku pendukung Tradisi Potong Jari atau melindungi tradisi tersebut sesuai dengan misi pelestarian budaya? Dua kepentingan saling bentrok untuk dapat diterapkan menanggapi keberadaan Tradisi Potong Jari. Dari sisi pelestarian, tradisi harus dipertahankan untuk menjaga multikulturalisme Indonesia. Dari sisi target dalam SGDs, terdapat goal untuk menghapuskan segala praktik membahayakan yang diterima perempuan.

Penghapusan praktik membahayakan terhadap perempuan sesuai tujuan SDGs harus melalui proses panjang agar dapat diterima dalam suku pendukung Tradisi Potong Jari. Walau bagaimanapun, pandangan bahwa Tradisi Potong Jari adalah tradisi berbahaya merupakan gagasan “impor” bagi suku pendukung. Oleh karena itu, gagasan dan tindakan penghapusan praktik harus diinternalisasi, disosialisasi, dan dienkulturasi (Koentjaraningrat, 1989) untuk dapat hidup dalam suku pendukung. Gagasan penghapusan praktik diinternalisasikan terlebih dahulu secara intensif. Suku pendukung Tradisi Potong Jari harus mengenal dan memahami bentuk gagasan yang diusulkan pada mereka. Selanjutnya penghapusan praktik harus disosialisasi agar suku pendukung dapat mempelajari gagasan dan tindakan dalam rangka penghapusan tersebut. Dan yang terakhir, penghapusan praktik harus dienkulturasi atau dibudayakan dalam suku pendukung tradisi. Dengan melewati tiga tahap tersebut maka idealnya penghapusan praktik dapat diterima oleh suku pendukung.

Namun, penerapan tiga proses tersebut tidak mudah karena mengarah pada “penggantian budaya”. Budaya yang asing bagi suku pendukung dimasukkan dalam kehidupan mereka untuk menggantikan budaya yang telah lama muncul dan berkembang dalam masyarakat. Replacement yang demikian akan sangat sulit ditambah penduduk suku pendukung Tradisi Potong Jari dikenal dengan suku terdalam. Suku-suku terdalam tersebut cenderung lebih konservatif terhadap budaya yang telah lama hidup di antara mereka. Pandangan pesimisnya, mengubah budaya masyarakat yang sering berkontak dengan dunia luar saja sudah sulit apalagi mengubah budaya masyarakat konservatif. Sehingga replacement memperjuangkan hak perempuan dalam hal penghapusan praktik membahayakan akan tampak sia-sia karena nilai dalam tradisi potong jari lebih dihayati oleh masyarakat daripada nilai yang diusung dalam SDGs.

Seandainya penghapusan praktik membahayakan SDGs dipandang lebih berorientasi pada masa depan perempuan dan mau tidak mau harus dilaksanakan pada suku-suku pendukung Tradisi Potong Jari, skenario yang harus dilakukan adalah pengenalan secara terselubung. Dengan cara tertentu, secara halus suku pendukung tradisi disuntikkan informasi bahwa melukai tubuh merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan sekalipun dalam tradisi. Media yang paling ampuh dalam hal ini adalah pendidikan formal. Media massa kurang berkembang dalam masyarakat suku pendukung Tradisi Potong Jari di Papua. Maka salah satu yang dapat dimanfaatkan untuk meng-influence gagasan penghapusan praktik membahayakan adalah melalui kurikulum pendidikan formal yang berusaha diratakan oleh pemerintah, lebih khusus dengan kurikulum terselubung. Kurikulum terselubung sendiri merupakan proses sosialisasi yang dilakukan secara “tidak sengaja” (unintended curriculum) melalui kebijakan dan komunitas sekolah (Kurniawan, 2017).

Seandainya pelestarian Tradisi Potong Jari dipandang lebih penting karena dapat menjaga kebhinekaan atau menjaga multikulturalisme Indonesia, maka gagasan dan praktik harus tetap disediakan wadah pelestarian. Wadah pelestarian bisa dimulai dengan mendukung praktik hingga membuat dokumentasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut lebih gencar lagi dikampanyekan. Masyarakat di luar suku pendukung Tradisi Potong Jari juga harus mengembangkan sikap toleransi terhadap tradisi yang barangkali berbeda pemaknaan tentang membahayakan atau tidak.

Benturan kepentingan antara melaksanakan program sesuai tujuan MDGs dengan program pelestarian budaya sering kali terjadi. Benturan-benturan seperti ini tidak hanya akan ditemui di suku Dani dan suku Moni atau suku lain pendukung Tradisi Potong Jari, banyak sekali tradisi membahayakan—dari sudut pandang SDGs—dipraktikkan pada perempuan karena makna-makna tertentu pada perempuan. Dengan dua pengandaian dari dua sudut pandang dapat diambil kesimpulan bahwa pemangku kepentingan harus bijak dalam mempertimbangkan gagasan mana yang akan diterapkan menyikapi Tradisi Potong Jari tersebut, tentunya dengan mempertimbangkan dampak mana yang akan lebih menguntungkan bagi suku pendukung, bukan saja kepentingan pembuat kebijakan. Culture shock dan dampak-dampak budaya lain dalam suku pendukung budaya harus benar-benar dipertimbangkan.

Referensi

  • Aufa, A.A. (2017). Memaknai Kematian dalam Upacara Kematian di Jawa. An-nas: Jurnal Humaniora. 1(1). 1–11.
  • Koentjaraningrat. (1989). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
  • Kurniawan, K.N. (2017). Sosialisasi Nilai Toleransi Beragama Melalui Kurikulum Terselubung. Skripsi. Universitas Indonesia.
  • United Nations. (2021). The 17 Goals. URL: https://sdgs.un.org/goals. Diakses tanggal 6 Mei 2021.
  • Zonggonau, A. (20170. Kebudayaan Potong Jari Sebagai Simbol Duka Suku Moni di Desa Ugidimi Distrik Bibida Kabupaten Paniai Provinsi Papua. Holistik. 10(9). 1–20.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.