Ilustrasi interaksi manusia-robot dari serial Kamen Rider
Bayangkan sebuah kehidupan dimana manusia bisa hidup berdampingan dengan para robot. Robot tak lagi dianggap sebagai alat, ia juga dapat menjadi teman yang baik bagi manusia. Robot tidak lagi hanya mesin berdaya guna, tapi mereka bisa merasakan kehidupan; mereka mampu merasakan sakit, tertawa bahagia, gairah, hingga berimpian. Terdengar utopis? Setidaknya itu yang diimajinasikan dalam Kamen Rider Zero-One, sekaligus menjadi bahasan utama dalam tulisan ini.
Kamen Rider Zero-One adalah serial tokusatsu dari Jepang yang termasuk dalam franchise Kamen Rider sekaligus menjadi pembuka dari era reiwa, zaman baru di jepang yang ditandai dengan turunnya takhta kaisar Jepang. Premis dari Zero-one ini sendiri sangat menarik, bercerita tentang Hiden Intelligence, sebuah perusahaan teknologi paling berkembang di Jepang yang berspesialisasi dalam artificial intelligence (AI), telah mengembangkan cara untuk memanfaatkan AI dalam bentuk humanoid, yang dikenal sebagai Humagear, humanoid yang hampir identik ini telah menjadi kebutuhan pokok dalam membantu kehidupan sehari-hari, baik untuk masyarakat umum maupun sektor mikro dan makro. Para Humagear memiliki bentuk yang persis dengan manusia tapi mereka memiliki telinga robotik sebagai penanda bahwa mereka bukan manusia.read more
Sahel merupakan wilayah yang memanjang dari Mauritania di Afrika Barat hingga Eritrea di pantai Laut Merah, Afrika Timur. Wilayah ini memiliki fungsi sebagai penyangga klimatik antara Gurun Pasir Sahara yang beriklim arid (kering) dengan wilayah bagian selatan yang lebih subur. Tak hanya itu, Sahel juga menjadi transisi vegetasi—antara vegetasi gurun dengan sabana (WWF, 2009). Alhasil, Sahel pula memiliki iklim transisional— antara iklim gurun dan tropis kering; di mana kondisi tersebut menyebabkan curah hujan relatif rendah dan tidak merata, namun dengan variasi temperatur tak seekstrem Gurun Sahara. Akibatnya, pertanian menjadi sektor yang kurang berkembang di kawasan ini.read more
Work From Home atau kerap diartikan sebagai “bekerja dari rumah” telah dilakukan sejak lama. Work From Home telah terjadi dalam peradaban manusia jauh sebelum virus Corona mewabah—bahkan masih terkait dengan sejarah profesi dan pekerjaan. Sejarah berkembangnya pekerjaan manusia sendiri telah pada era prasejarah. Kala itu, manusia purba bekerja dan mencari makan dengan berburu dan bercocok tanam. Jenis manusia pertama yang melakukan ini disebut Homo eargaster—secara harfiah berarti “manusia pekerja”—menghuni bumi pada 1,9 hingga 1,4 juta tahun lalu.read more
Isu kesehatan akhir-akhir menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan akibat mewabahnya virus COVID-19. Virus yang mewabah sejak awal 2020 tersebut memiliki tingkat kematian rerata 2–3% dengan penularan amat cepat — di mana jumlah penderitanya telah menembus 2,7 juta orang hanya dalam waktu empat bulan. Dari berbagai pembicaraan dan pemberitaan yang banyak tersebar di media, timbul berbagai pertanyaan pelik: langkah apa yang lebih baik untuk diambil? Kebijakan apa yang memang benar-benar tepat untuk diberlakukan? Semua pertanyaan tersebut seolah berkejaran dengan waktu, menunggu jawaban rasional dan konkret agar dampak akibat pandemi COVID-19 di Indonesia segera teratasi.read more
Pada 12 Maret 2020, wabah COVID-19 mulai berstatus pandemi. Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mencatat, pandemi merupakan epidemi yang menyebar ke beberapa negara atau benua dan mempengaruhi masyrakat dalam jumlah besar. Setelah dikeluarkannya status pandemi pada COVID-19, maka World Health Organization (WHO) mengimbau setiap negara yang terdampak — tidak terkecuali Indonesia — untuk fokus mendeteksi, merawat, mengisolasi, melacak, dan memobilisasi masyarakat. Pernyataan WHO tersebut juga diperkuat oleh ahli epidemilogi Harvard Institute, Marc Lipstich. terkait status pandemi ini yang menyatakan bahwa dalam menghadapi status COVID-19 yang pandemi berarti tidak hanya fokus pada penahanan, tetapi harus semakin fokus pada mitigasi penyebaran virus ini.read more
Jika kalian pernah menonton serial Avatar: The Legend of Aang, tentu kalian tidak asing dengan kalimat pembuka semua orang hidup damai hingga negara api menyerang. Meskipun tidak 100% tepat, kondisi ini juga dapat menggambarkan situasi kita sekarang dimana semenjak korona menyerang, kehidupan umat manusia di berbagai belahan dunia sedikit direpotkan, tidak terkecuali Indonesia yang oleh para politisi dianggap sebagai lelucon.
Manusia sebagai mahkluk sosial, tentu memiliki kepedulian sosial dengan merespons hal ini dengan tindakan sosial pula. Adler mendefinisikan kepedulian sosial sebagai sebuah sikap keterhubungan dengan kemanusiaan pada umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota komunitas (Marwing, 2016: 255). Menurut Adler, jika kita melakukan tindakan sosial dengan motif yang dipusatkan pada diri sendiri dan untuk keunggulan terhadap manusia lain, itu bukanlah kepedulian sosial sejati. Bisa saja, tindakan sosial itu sengaja dilakukan sebagai tanda posisi antara si pemberi dan yang diberi. Hasil donasi, apapun bentuknya, selalu menandakan “kamu lemah” dan “aku unggul”, hal ini menyebabkan kedermawanan menjadi bukti superioritas. Dalam kepedulian sosial, affect yang muncul harus dihindari dan dilepaskan seperti adanya egoism psikologis yang bersifat patologis seperti perasaan superior maupun egoisme psikologis yang muncul dalam bentuk perasaan-perasaan positif seperti perasaan senang, puas, bahagia, tidak malu, tidak kecewa, tidak frustasi (Marwing, 2016: 262). manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga nilai moral yang dimiliki, sehingga memang sudah seharusnya egoisme psikologis tidak perlu muncul saat melakukan kepedulian sosial. Pertanyaan ini mungkin dapat membantu dalam memahami apa yang saya tulis di atas, juga bisa sebagai bahan refleksi kita bersma. Mengapa kebaikan perlu memberikan perasaan menyenangkan, sementara ia hal wajar yang sudah semestinya dilakukan? Membantu sesama memang suatu tindakan terpuji. Namun, banyak orang lupa bahwa kata kunci dalam teori bantu membantu adalah ikhlas. Dalam Islam, ikhlas dapat diartikan dengan jujur, rela, kemurnian, kesucian, kebersihan atau ketauhidan. Maksudnya adalah perbuatan (amal) yang dilakukan dengan kejujuran, ketulusan, kerelaan dan kemurnian serta kebersihan hati karena Allah SWT tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti: keinginan untuk mendapatkan keistimewaan, posisi atau kedudukan atau dipuji dan lain sebagainya (Hasiah, 2013: 43). Penjelasan di atas memang terdengar sangat klise, kita semua sudah tahu definisi ikhlas, kita sudah kenyang dengan pelajaran ketika duduk dibangku sekolah. Namun, untuk lebih dapat memahami maknanya, izinkan saya memberikan contoh dari sebuah buku berjudul Merasa Pintar, Bodoh saja tak Punya dari Rusdi Mathari. Dalam bukunya itu, ikhlas di bahas dalam sebuah bab berjudul Belajar Ikhlas dari Berak dan Kecing. Cak Dlahom, tokoh utama dalam cerita ini mengingatkan Mat Piti yang sudah baik kepadanya untuk ikhlas saat membantunya. Mat Piti yang bingung, menanyakan lebih lanjut apa yang dimaksud oleh Cak Dlahom. Sesampainya di rumah Cak Dlahom, Mat Piti ditanya oleh Cak Dlahom apa saja yang makanan yang diberikan padanya hari ini. Mat Piti dapat menjawab dengan lancar pertanyaan Cak Dlahom, bahkan Mat Piti pun masih ingat pemberian peci yang sudah sebulan lamanya. Namun, saat ditanya tentang aktivitas berak dan kecingnya, Mat Piti kesulitan menjawab karena sudah lupa. Begitulah ikhlas yang dimaksud oleh Cak Dlahom, tidak perlu diingat-ingat. Setelah beramal, lupakan, jika kita memang mengharap rida Allah SWT. Dalam maksud yang lebih luas yakni sisi spiritual kita. Seorang dokter yang viral belakangan ini, tentu tidak memenuhi kualifikasi ikhlas menurut tokoh Cak Dlahom dalam imaji Rusdi Mathari. Dalam cuitannya di Twitter, ia sangat gamblang menjelaskan apa yang telah ia lakukan untuk membantu orang lain sebagai ‘kepedulian sosialnya’. Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, ia pun lancar menyebutkan apa kontribusi yang telah dilakukan bersama teman-temannya. Ya, mungkin kalian akan berkata “tapi dengan ia memberitahukan ‘hal baik’ yang ia lakukan di media sosial akan menginfluence orang lain untuk berbuat hal yang sama, atau mungkin untuk transparansi atas galang donasi yang telah ia lakukan?”. Mungkin benar, mungkin salah, saya pun tidak berani menyimpulkan, di awal saya juga menyebutkan bahwa itu menurut Cak Dlahom, tokoh rekaan Rusdi Mathari. Namun, apakah kalian pikir seseorang yang ditandai dalam suatu status temannya karena ada namanya di poster penggalangan dana secara terus menerus dalam sehari, bahkan hitungan jam memang benar untuk tujuan publikasi? Bukankah cukup hanya sekali dengan dirinya sendiri tanpa me-resnapinstastory orang lain? Atau memang itu tujuannya agar mendapatkan pengakuan dari orang lain? Kalian sendiri yang dapat menyimpulkan Kalian sekarang berpikir “dasar sampah, bisanya cuma nyinyir doang. Mending dia ngelakuin aksi, kamu uda ngelakuin apa emang?” Sudahlah, kita ini manusia dan cuma mahkluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa — khusus yang masih percaya akan Tuhan. Mengapa tidak mengakui saja kalau kita ini memang mahkluk terbatas yang kadang melakukan sesuatu atas dasar motif pribadi? Tidak mengapa jika kamu hanya bisa rebahan dan berdiam diri di rumah. Hal yang diremehkan oleh kebanyakan orang itu sekarang adalah hal paling mudah untuk ikut peduli terhadap orang lain, dan, yang terpenting, kita ikhlas melakukan semua hal tersebut. Referensiread more
Scroll to Top
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website.
--
[ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju